Pages

Sunday, January 31, 2016

Menjadi Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta (Part I)

Part I: Kikuk dan gugup, tapi ayo move on!
kelas penciptaan seni lukis 2015 bersama dosen kesayangan

Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa seni? Saya sering mendapatkan pertanyaan ini. Karena disela teman-teman jurusan lainnya sibuk dan stress dengan kuliah bahkan jenuh, kami yang jurusan seni ini masih terlihat berjalan-jalan santai dan masih sempat tertawa. Tidak banyak tugas? Tidak juga. Tugasnya tidak menuntut? Salah. Dan akhirnya muncul kesimpulan lain, “Alah tugasnya Cuma nggambar,” dan ini yang sering membuat kami semua, mahasiswa seni, geram.

Dibilang santai tidak. Dibilang longgar juga tidak. Apa yang membedakan kami dengan keilmuan yang lain? Kami mengerjakan segala sesuatu dengan feeling. Ya, feeling, bukan sekedar teori ini itu buku ini itu. Ada hal yang menarik saat kita mengerjakan segala sesuatu dengan rasa. Ada dorongan semangat besar, juga rasa bahagia yang tidak terucap. Wajar jika orang bilang mahasiswa bahkan dosen seni awet muda. Itu tidak bohong.

Mendapatkan pengumuman dari web bahwa saya diterima di Pascasarjana Institut Seni Yogyakarta malam itu di bulan Juli 2015, saya menangis. Sujud syukur dan memeluk kedua orang tua, saya tidak henti-hentinya mengutuk diri sendiri yang selama ini pesimis dan sempat berhenti berkarya karena banyak tekanan batin. Mungkin ini jalan pertama Tuhan memberikan peringatan pada saya untuk kembali memutar otak dan tangan untuk berkarya. Saya diterima di jurusan Penciptaan Seni Lukis, sebuah jurusan magister yang akan lebih mengedepankan produk daripada teori-teori berbelit. Tapi bagaimanapun, meski jurusan murni, saya tahu bahwa S2 itu bukan taman bermain corat-coret. Pasti ada teori yang lebih jahat dan lebih intens, daripada S1. Mental saya sudah siap untuk itu.
Contoh thesis. Penuh dengan curhatan!


Kami tidak langsung masuk ke kelas. Ada seminggu kelas pembekalan, begitu bunyinya. Jikalau tahun lalu namanya matrikulasi dan digunakan untuk menyetarakan umat, kali ini bermotif memberikan bekal awal pada mahasiswa yang sudah diterima untuk menghadapi perkuliahan. Materi yang kami dapat adalah Filsafat Ilmu dan Penulisan Ilmiah. Menarik, ini mata kuliah teori yang dipandu oleh seorang profesor dan doktor yang sama-sama lulusan luar negeri. Bukan hal yang spesial, di ISI Yogyakarta ada banyak dosen lulusan luar negeri. Saya kembali mengutuk diri, kenapa dulu tidak memperjuangkan beasiswa keluar negeri yang ditawarkan pada saya dengan alasan tidak pede dan takut cultural shock.  Dan di akhir minggu, jumlah kami berkurang. Ada banyak mahasiswa yang mengundurkan diri, pindah karena diterima di universitas lain, maupun dikeluarkan karena tidak mengikuti materi dengan serius. Oke, berarti yang ada di sekeliling saya adalah orang-orang terpilih. Setidaknya untuk masuk Pascasarjana ISI Yogyakarta ada 2 tahap eliminasi. Di awal saat pendaftaran, dan setelah pembekalan. Saya melihat teman saya gagal masuk di tahap satu, bahkan seorang wanita ramah yang berkenalan dengan saya di saat pembekalan juga gugur.

[YANG HARUS DISIAPKAN UNTUK S2: SERTIFIKAT TOEFL, MINIMAL 450 + SERTIFIKAT SKOR TEST POTENSIAL AKADEMIK + PORTOFOLIO KARYA SENI 5 TAHUN TERAKHIR + FORMULIR PENDAFTARAN, LENGKAP DENGAN BEBERAPA TULISAN ESSAI SESUAI KEBUTUHAN + ARTIKEL KORAN/MEDIA MASSA TENTANG ANDA ATAU KARYA ANDA + SERTIFIKAT LOMBA, KEJUARAAN, SEMINAR, AKTIFITAS KESENIAN]

UAS: Satu soal harus dijabarkan minim dua halaman
Masuk ke kelas, shock menerpa dengan deras. Teman-teman sekelas saya rata-rata adalah seniman akademis yang sudah memiliki nama di kancah pergulatan umat artistik, nasional maupun internasional! Ataupun kalau tidak, mereka sudah memiliki basic estetika yang mantap dan tajam, seakan membunuh saya si kerdil lulusan pendidikan seni rupa ini. Di pendidikan senirupa, S1 saya, kami dilatih untuk menjadi guru. Kami belajar seni secara praktis, namun lebih banyak porsi teori pendidikannya. Di kelas Penciptaan Seni Lukis saya, hampir seluruhnya lulusan seni murni. Sudah, jangan tanya bagaimana cara mereka memandang kanvas dari sisi pengetahuan kesenian. Saya hanya batu kerikil. Tapi sekali lagi, saya menengadah kebawah, memandang para pejuang gugur yang gagal masuk kemari. Kenapa para dosen memilih saya? Kenapa Tuhan mengirim saya? Kenapa tidak mereka? Berarti saya bisa. Dan begitulah yang juga diucap oleh direktur kami, Professor Djohan, “Kami memilih kalian karena kalian memiliki potensi.”

Semester pertama, kami berkenalan dengan kikuk. Saya berpikir kelas magister akan penuh dengan orang yang lebih tua, separuh baya maupun baya. Ternyata kelas saya perupa muda semua. Ada juga yang fresh graduate, membuat kami cukup nyaman berinteraksi. Yang paling saya suka, rata-rata sudah mengalami banyak hal dalam kehidupan dan menghargai privasi. Saya orang yang insecure, namun kelas ini memberikan rasa nyaman karena toleransi yang tinggi. Mereka tidak segan membantu
teman lain untuk berkembang. Meski saya akui, ya, ada rasa kompetisi positif yang berdetak disana, tertutup dengan rapi dan bersih, namun tidak mengancam. Saya masih bisa mentolerirnya.


salah satu pameran thesis mahasiswa S3 keramik
[MAHASISWA S2 FRESH GRADUATE DAN YANG SUDAH PERNAH BEKERJA AMAT BERBEDA DALAM MENYIKAPI TUGAS DAN MENYELESAIKAN MASALAH. SERING TIMBUL KONFLIK, APALAGI LINGKUNGAN MAHASISWA SENI.  S2 TIDAK HANYA MENGEJAR GELAR FORMAL, NAMUN JUGA KEDEWASAAN DIRI. BE AWARE, MARI BERLATIH MENAHAN DIRI DAN TOLERANSI]


Menjadi Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta (Part II)


Part II: Perkuliahan yang memutar dunia
========================================

Masih membicarakan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa seni di Pascasarjana ISI Yogyakarta. Jika kemarin masih garis besar, kali ini sudah mencapai garis besar kegiatan kelas.


Edi Sunaryo, saat pameran tugas
Kelas kami menyenangkan, penuh dengan dosen yang matang di bidangnya. Saya ambil contoh dosen kelas “Penciptaan Seni Lukis I” yang merupakan seniman sahabat Oe Hong Djien, kolektor Indonesia, Bapak Edi Sunaryo. Saya ingin berteriak, “HOW COME” saat beliau mengkritik karya saya dengan detail, bahkan mengetahui bagian mana yang saya mengerjakan dengan terpaksa, dan mana yang saya sangat enjoy. Dengan tunjukan khasnya, beliau mendeskripsikan, kamu bagus di bagian ini, kamu suka ya bikin bagian ini, kamu terpaksa di bagian ini, tanganmu kaku di sisi yang ini. Seakan bisa membaca sejarah, beliau berhasil membuat saya terdiam dan menunduk hormat. Beliau yang membuat saya sadar dimana kekuatan utama artistik saya, dan membantu saya meledakkan potensi terdalam.   Beliau mengajak kami keluar dari zona nyaman, mengenalkan pasar, juga sempat berjalan-jalan ke museum dan rumah Oe Hong Djien secara gratis. Sebuah kesempatan langka dan lucky seven, kalau saya bilang. Sayangnya, sekitar dua atau tiga tahun lagi beliau akan pensiun. Well, setidaknya terima kasih Tuhan, sempat memberikan beliau pada saya. Beliau memberikan apa yang penting adalah kita harus paham batas diri. Apa yang menonjol dan apa yang kurang. Jangan fokus dan terus-terusan mengeluh pada apa yang kurang dan tidak bisa kita capai, namun kembangkan apa yang menjadi kekuatanmu. Saat pikiran dan hati kita sudah melaksanakannya, ada kekuatan yang tidak terduga terlahir dari kita. Itulah yang terjadi dengan saya. Meski sedikit stress dan tertekan, namun perubahan aliran lukisan ini benar-benar membuat teman-teman mengapresiasi saya lebih baik dan sangat setuju dengan keputusan saya, yang terdorong oleh saran bapak Edi.

[SAMA DENGAN ALMARHUMAH NYI SUPADMININGTYAS, GURU SINDEN SAYA DARI SOLO, YANG SELALU BERPESAN, JANGAN TUTUPI KELEBIHANMU, TAPI TUNJUKKAN PADA DUNIA. DENGAN BEGITU APA YANG TIDAK MEMILIKI KEKUATAN AKAN MENJADI PELENGKAP KELEBIHANMU DAN KESATUANNYA MENJADIKANMU KEINDAHAN SEJATI]   

Dosen amazing yang kedua adalah Professor Martinus Dwi Marianto. Kritikus, kurator, pengajar, dan mantan direktur Pascasarjana ISI. Sempat juga maju menjadi calon rektor, namun untungnya tidak jadi. Kalau jadi, mungkin kami tidak akan diajar dengan intens dan mendapatkan ilmu yang memutar mindset. Beliau pencetus teori quantum pada seni. Jika selama ini teori quantum hanya ada pada fisika, beliau mengaitkannya dengan seni, dan itu benar-benar fuckin’ amazing. Sorry for my bad languange. Tidak hanya mengenalkan kami pada buku-buku yang luar biasa dan pemahaman baru akan dunia, beliau juga mengajak kami berjalan-jalan keluar. Masuk ke rumah seniman besar Indonesia seperti Heri Dono, Djoko Pekik, bahkan mengadakan kelas ditengah-tengah ruang pameran. Bapak satu ini menuntut kami untuk aktif dan membuka mata tentang kesenian kontemporer yang merebak, dengan mata kepala kami sendiri. Mengobservasi dan menyimpulkan, kami menjadi lebih paham dan mendalaminya. Saya yang semula berpikir terkotak-kotak karena bawaan orang pendidikan, akhirnya berjungkir balik. Shock, namun gembira. Saya menjadi gila di Jogja.
kuliah di rumah seniman Heri Dono, bersama prof Dwi


[JIKA INGIN TAHU KAMI BELAJAR APA SATU SEMESTER DI PERKULIAHAN PROF. DWI MARIANTO, BACA BUKU ART & LEVITATION: SENI DALAM CAKRAWALA, KARANGAN BELIAU SENDIRI ]



Sutanto Mendut beraksi di kelas


Apa lagi yang membuat saya membuka pikiran dan menjungkirkannya dengan liar? Dosen yang juga komposer, budayawan, seniman, yakni bapak Sutanto Mendut. Mengambil mata kuliah pilihan Seni dan Lingkungan, saya berharap mendapatkan pengetahuan mendalam tentang kebijakan sosio-cultural di era post-modern atau apalah untuk membantu rencana thesis saya yang mengangkat isu sosial. Namun ekspetasi saya hancur begitu saja di pertemuan pertama. Dosen apa ini. Mata kuliah apa ini. Gila. Saya gila lagi di Jogja. Bertingkah sembarangan, selalu muncul guyonan kotor, hobi berfoto di kelas, bahkan mengkritik otoritas yang berjalan. Namun beliau berwawasan luas, melihat dunia dari kacamata terbalik yang nakal. Selama ini saya juga melakukannya, namun saya tahan sendiri karena saya tahu itu tabu dan lingkungan tidak akan menerima. Ternyata sosok ini membuat saya chaos. Dan tanpa saya sadari, dari chaos itu sendiri ada keindahan. Mindset saya kembali berputar. Lupakan formalitas, ayo manfaatkan kreativitas. Jangan lupa lihat lingkungan sekitarmu; ada banyak hal yang bisa kamu manfaatkan. Tidak usah sok suci dan sok tertata, hiduplah apa adanya. Kita dan alam itu satu, harus saling menjaga.

Tugasnya apa saja? Oh jangan ditanya. Banyak. Baca buku, itu pasti. Sebagai seorang magister, diharapkan mulai belajar melahirkan ilmu-ilmu dari pemikirannya sendiri. Para ahli terdahulu hanya mendorong, bukan menjadi acuan diktator. Saya menjadi lebih percaya diri mengungkapkan pendapat secara pribadi, karena bagaimanapun, ini adalah perguruan tinggi seni. Hampir semua yang disini menggunakan rasa untuk menyelesaikannya. Bagaimana seorang Edi Sunaryo dapat memahami goresan penuh keresahan dan goresan bahagia hanya dari melihatnya saja? Tentu hati lah jawabnya. Hati dan perasaan memiliki gelombang yang lebih kuat dari pikiran.

Mengerjakan UAS bersama
Tugas kami seputar mengobservasi pameran, mengkritik karya seni, menelaah literatur, mencoba memahami seni dari sisi dalam, berlatih membuat konsep yang matang untuk sebuah karya, dan tentu saja, membuat karya itu sendiri, dalam hal ini lukisan. Dalam satu semester kami harus membuat 5 karya lukisan. Ringan? Masih, menurut saya pribadi. Coba dipikir apabila ukuran karya beberapa meter. Kami harus bisa menyeimbangkan antara pekerjaan praktikum dan teori. Dua hal yang saling bertolak belakang. Sesungguhnya seorang magister penciptaan seni adalah orang yang hebat. Nalarnya terasah, estetiknya berjalan. Sulit menemukan manusia yang dua sisi bertolak belakang tersebut seimbang. Disini kalian bisa mendapatkannya. Orang seni selalu unik.

Apa yang mengerikan dari kuliah di magister seni? Yang pertama tentu manajemen pikiran dan hati. Karya yang bagus tidak akan lahir dari pikiran yang penuh atau mood yang buruk, seorang Edi Sunaryo bahkan bisa melihatnya (saya pernah kena tegur padahal beliau hanya melihat karya saya sekilas tanpa tanya bagaimana saya saat mengerjakannya)!! Inilah yang membuat banyak orang kwalahan. Siapa lagi kalau bukan pribadi yang matang yang bisa mencapai titik ini?

Yang kedua, dana. Selain SPP yang tidak biasa, 4-5 kali lipat dari biaya S1 (bahkan bisa mencapai 8-10x lipat di perguruan tinggi lain), tugas harian-mingguan dan ‘aksesoris’nya butuh pembakaran uang yang lumayan juga. Kanvas, cat, kuas, kertas khusus (karena seni disini bukan sekedar corat-coret, tapi masalah serius), pelapis, dan juga buku. Di awal masuk, untuk menghemat, saya mencoba menggunakan cat murah (lol) dan berakhir dikritik habis-habisan oleh dosen dan rekan. Akhirnya saya melompat masuk ke dunia hedonisme seni, dimana cat kualitas premium dengan harga yang mengalahkan gala dinner di restoran mewah akhirnya saya koleksi.  Tidak masalah jika untuk pendidikan, begitu ayah saya berkata saat saya minta izin mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk sekedar cat.
Persiapan event yang kami koordinir
Sejak disini, beberapa dosen selalu memberikan kami materi dan tugas yang hanya ada jawabannya di buku. Mereka menyarankan buku A, B, C, dan otomatis terbakar sudah dompet. Belum cukup, ada pameran, ada juga pementasan karya tugas. Pameran itu termasuk membayar snack maupun konsumsi lain untuk para tamu, membayar kebersihan, perlengkapan, dan segala keperluan dadakan lain yang wow. Eksistensi kita dipertanyakan jika tidak pernah mengadakan pameran atau terlibat. Selain itu, pameran memberikan banyak ilmu non-formal yang menggugah rasa artistik kita akan seni dan sosial. Wow dan wow, saya akhirnya memilih makan mi instan dan nasi kecap secara berkala agar keuangan cukup dan tidak merepotkan orang tua dengan meminta lagi.          

 Saya mendapatkan banyak hal dari perkuliahan dan lingkungan teman saya. Idealisme dan prinsip saya yang tertata tinggi runtuh sedikit demi sedikit. Kampus seni benar-benar kampus brengsek, tempat berkumpulnya orang yang melihat dunia secara luas dan berbeda. Saya bahagia bisa masuk disini. Saya bahagia idealisme saya yang kaku dan kolot tergerus sedikit sedikit, membuat beban di hati berkurang. Tapi tetap saja, apa yang sudah saya pondasikan tidak akan pernah hilang. Itulah bagusnya sudah memiliki prinsip dan pondasi matang saat kita dilempar ke dunia lain; tidak akan terbawa arus dan tidak akan hilang jati diri. Saya bahagia Tuhan memberikan saya lingkungan ini di saat saya sudah punya pondasi. Saya tidak bisa membayangkan saat saya lulus SMA saya segera terjun kemari; mungkin sudah ikut tergeletak di halaman, menjadikan Tuhan permainan, mengkritik jahat semua keteraturan dan melemparkan atribut norma kebelakang.

Ilmu dan kemapanan yang kita dapatkan di S2 tidak bisa dibagi begitu saja. Tidak semua ilmu bisa didapat dari mengemis orang lain. Disini saya menekankan itu, karena apa yang saya dapatkan dan alami berbeda dengan rekan saya yang lainnya. Karena di perkuliahan seni murni program pasca sarjana, terutama penciptaan, perkuliahan adalah pengembangan dari apa yang sudah dimiliki per person; dosen ada untuk mengembangkan atau membuka potensi yang unik dari masing-masing. Pencapaian yang dimiliki per individu akhirnya juga tidak sama, sehingga tidak bisa disama ratakan. Pemahaman yang dimunculkan adalah hasil dari olahan pribadi, bukan cekokan ilmu pasti. Tidak seperti matematika yang rumusnya jelas dan hasilnya pasti sama, apa yang kami dapatkan di magister penciptaan seni ini akan terasa sulit jika dicoba ditularkan secara identik. Meski rumusnya jelas, namun hasilnya akan berbeda karena rasa estetik dan pencapaian filsafat orang berbeda. Yang jelas, tetaplah mengembangkan diri dan terus berlatih. Karena hanya kita yang paham akan kemauan, kemampuan, dan batas diri kita sendiri.      

                     


Sunday, January 3, 2016

Howl's Moving Castle: Film vs Novel



Howl’s Moving Castle adalah salah satu animasi keluaran Ghibli Studio pada tahun 2006. Masuk pada nominasi Academy Award, dan dipublikasi oleh Disney untuk pasar barat. Sama seperti animasi buatan Ghibli yang telah ditonton, saya tertarik dan ikut haru dengan ceritanya. Well, selain juga jatuh cinta dengan karakter penyihir utama, Howl Jenkins Pendragon. Terkejut bahwa Christian Bale (si Dark Knight Rises) yang mengisi suaranya untuk versi English dan Kimura Takuya untuk versi Jepang, rasa jatuh cintanya juga semakin dalam. Sepertinya tinggal tunggu waktu saja menarik teman untuk bercosplay menjadi Howl.


sampul buku, dengan penggambaran kastil bergerak Howl

Menelisik lebih dalam, ternyata animasi ini adaptasi dari novel tahun 1986 berjudul sama. Novel ini merupakan trilogi dari “The Castle” karya Diana Wynne Jones, seorang novelis British. Novel ini sendiri sudah memiliki penghargaan Pheonix Award dan masuk nominasi di Boston Globe–Horn Book Award.  Hayao Miyazaki, sutradara dari film ini, datang sendiri ke Inggris untuk bertemu Diana dan meminta izinnya untuk membuat film berdasarkan novel faforitnya ini.

Mencoba membeli bukunya namun belum kesampaian, akhirnya mendapatkan ebook gratis versi original Inggrisnya dan menghabiskan waktu untuk menelaah. Tentunya banyak perbedaan yang disampaikan, dan artikel ini bertujuan untuk mengungkapkannya 




[SPOILER ALERT. JIKA HENDAK MEMBACA BUKU MAUPUN MENONTON FILM UNTUK MENIKMATI CERITANYA, LEBIH BAIK JANGAN MEMBACA ARTIKEL INI]



ANTARA KETEGANGAN DAN KEDAMAIAN: PERANG
Film: Perang berkecamuk di dunia mereka. Kedua kerajaan saling serang, baik dengan kekuatan udara maupun laut. Muncul monster-monster menyeramkan yang menjadi alat perang. Teknologi sudah cukup maju, bertolok ukur dari desain-desain steampunk. Howl dikenal sebagai penyihir yang gemar mencari gadis muda untuk dicuri hatinya, namun ia bukan ancaman yang begitu besar, jika dilihat dari bagaimana para gadis di toko topi membicarakannya dengan ceria.

Novel: Tidak ada perang, hanya murni cerita kehidupan sehari-hari. Ancaman yang mencekam hanyalah gosip mengenai Howl yang jahat, dimana para gadis dikabarkan dimakan hatinya dan tidak selamat, sehingga tidak diperbolehkan seorang gadis berjalan-jalan sendirian. Selain itu Witch of Waste juga merupakan momok, yang dikabarkan membunuh penyihir kerajaan dan pangeran. Tidak ada teknologi yang mencuat. Settingnya amat kuno, dimana kendaraan masih ditarik oleh kuda.     


SOPHIE: IBU TIRI DAN DUA SAUDARI.
Film: Sophie bekerja di toko topi, yang dimiliki oleh ibunya yang modis. Dia bukan gadis yang aktif
dan sosialis, serta sedikit pemalu. Pembuat topi yang tekun, memiliki beberapa pegawai di tokonya. Ia memiliki adik yang cantik dan populer bernama Lettie, yang bekerja di toko roti. Berbeda dengan Sophie yang dideskripsikan ‘tidak cantik’ dan ‘tidak pernah ada yang mengatakan dia cantik’. Lettie sangat sayang pada Sophie dan berharap dia mencari kehidupan yang lebih berwarna daripada hanya berdiam di toko topi yang membosankan tersebut. Sophie sedikit ketus, dari caranya membully Calcifer. Namun bagaimanapun, Sophie yang sesekali gemar berbicara sendiri ini sosok berhati lembut dan peduli pada Howl serta menyayangi Markl dan Calcifer.

Novel: Sophie bekerja tidak dibayar oleh Fanny, ibu tirinya yang modis, sepeninggal ayahnya yang memiliki toko topi di kota kecil Chipping Market. Sophie gadis yang ketus, dan tidak suka bersosialisasi kecuali dengan topi-topi hasil jahitannya. Dia suka berbicara dengan topinya, memuji mereka, karena kebosanan di toko topi. Dia memiliki dua adik yang sayang padanya, Lettie dan Martha. Jika Lettie bekerja di toko roti Caesari dan dikerubuti banyak pria, maka Martha pergi ke daerah lain untuk menjadi murid penyihir cerewet namun berhati lembut, nyonya Fairfax. Tidak betah, Lettie dan Martha bertukar posisi, dimana Martha menggunakan ilmu sihir untuk menjadi mirip dengan Lettie. Martha, yang kini amat bahagia bekerja di toko roti Caesari, meminta Sophie untuk berhenti diperdaya ibunya, dan memilih untuk melanjutkan hidup dengan hal baru.


PERTEMUAN PERTAMA DENGAN HOWL
Film: Sophie hendak menuju toko roti tempat Lettie bekerja, namun digoda oleh dua tentara yang memanggilnya “tikus kecil”. Howl datang dan memantrai kedua tentara, mengajak Sophie untuk berjalan bersama. Mereka diganggu oleh makhluk-makhluk hitam, yang kemudian membuat Howl terbang bersama Sophie, dan mengantarnya dengan anggun menuju toko roti.

Novel: Sophie hendak menuju toko roti tempat Lettie bekerja, dan disapa oleh seorang pria perlente yang tampan. Pria itu memanggil Sophie dengan “tikus abu-abu kecil” dan ingin mengajaknya minum. Sophie amat ketakutan, menolak dengan ketus, dan berlalu begitu saja. Pria perlente itu adalah Howl.



KUTUKAN THE WITCH OF WASTE
Film: The Witch of Waste adalah seorang perempuan gendut dan menor yang sadar bahwa Sophie sempat berjalan beriringan dengan idamannya, Howl, dan mampir ke toko topi Sophie untuk mengutuknya. Sophie amat terkejut dan mengalami shock bahwa dia menjadi tua renta, sekitar umur 90. Dia pergi keesokan harinya dari kota, karena tidak mau menampakkan diri dengan kondisi seperti itu.

Novel: Berbeda dengan film, si penyihir jahat ini adalah wanita cantik yang kurus dan modis. Dia sempat ter-offense dengan Sophie yang ketus, dan menyihirnya menjadi nenek-nenek. Sophie tidak terlalu frustasi dengan perubahan ini dan dia amat tenang menjadi tua. Dia merasa tua renta amat cocok dengan kepribadiannya yang membosankan. Terkuak di pertengahan cerita, Witch of Waste datang ke toko topi itu karena ia sadar topi hasil karya Sophie memiliki daya magis, dan ia datang untuk menyidak siapa penyihir yang membuatnya.


KASTIL HOWL YANG KUMUH
Film: Kastil Howl bergaya steampunk, dengan desain yang unik. Kastilnya terlihat seperti tumpukan rongsokan yang menjadi satu. Kamar di dalam kastil merupakan sebuah rumah sederhana dengan dua kamar dan satu kamar mandi di lantai dua. Sementara di lantai pertama hanya ada perapian tempat Calcifer, dapur kecil, rak obat dan mantra, serta meja. Sophie tidur di sofa dibawah tangga dengan tirai penutup. Kamar Howl merupakan kamar yang indah, dengan segala pernak-pernik otentik yang unik dan terasa royal. Sophie merapikan dan membersihkan debu serta mengusir hewan-hewan melata yang ada di rumah Howl dengan tekun, dan penghuni rumah tidak masalah dengan hal tersebut.

Novel: Kastil Howl begitu klasik, dimana potongan kastil kuno dari bata berjalan dengan tiang-tiang balok dari batu bata. Isinya tidak jauh berbeda, hanya kamar mandi berada di lantai satu, dan terdapat beberapa pintu lagi selain pintu utama yang mengantarkan pada halaman kecil penuh rongsokan dan juga gudang tempat menaruh perkakas. Lantai pertama penuh dengan obat dan mantra dalam mug-mug yang tertata. Sophie berjuang dengan keras membersihkan rumah tersebut hingga sakit punggungnya kumat terus-menerus. Ia dianggap sebagai ancaman dan terus dikeluhkan oleh Calcifer serta Michael. Howl memberikan syarat pada Sophie untuk tidak membunuh laba-laba, dimana kamarnya sendiri penuh dengan laba-laba. Kamar Howl amat kumuh dan berdebu (yaiks) dan Howl melarang keras Sophie untuk masuk, apalagi membersihkan kamarnya.



MURID HOWL: MARKL ATAU MICHAEL?
Film: Howl memiliki murid, bernama Markl (tapi sependengaranku lebih seperti ‘Marco’) yang masih anak-anak, sekelas ABG. Dia menggunakan jubah biru untuk menyamar menjadi pria tua setiap kali berhadapan dengan pelanggan ataupun keluar dari kastil. Dia juga memanggil Howl “tuan” dan begitu bertanggung jawab atas tugasnya. Penggambaran Markl begitu imut, dimana jiwa kekanakannya sering muncul dan memberikan warna tersendiri pada jalan cerita.




Novel: Namanya dieja Michael, dan disebutkan berusia 15 tahun dengan kulit gelap. Tidak ada jubah penyamaran selama berhadapan dengan orang luar. Tapi ada satu bagian dari cerita dimana ia terpaksa mengenakan jubah penyamaran yang membuatnya menjadi orang tua yang tinggi besar dengan janggut kemerahan. Dia memanggil Howl dengan nama, tanpa embel-embel majikan. Meski ABG, Michael merupakan sosok yang cukup dewasa dalam cerita. Ia juga jatuh cinta pada Martha, adik Sophie, yang bekerja di toko roti dan mendapatkan balasan.


TURNIP HEAD: ORANG-ORANGAN LADANG YANG SERAM
suasana dalam kastil & penggambaran
tokoh versi novel
Film: Sophie tidak sengaja menyelamatkan orang-orangan ladang yang terjebak di semak, dan mendapati benda itu hidup serta mengikutinya. Sophie tidak masalah dengan benda berkepala lobak tersebut (yang kemudian membuatnya memanggil ‘turnip head’) dan beranggapan dia makhluk yang baik. Turnip Head membantu Sophie masuk ke kastil Howl, mencuci baju, serta memberinya payung disaat hujan. Belakangan, ia berubah wujud menjadi pangeran yang hilang dari kerajaan tetangga setelah dicium oleh Sophie. Ia terkena kutukan yang akan hilang jika dicium oleh cinta sejati.

Novel: Terjebak juga di semak, namun tidak hidup pada awal cerita. Sophie gemar berbicara pada benda mati sejak novel dimulai (mulai dari topi dan tongkat berjalan), dan itu pula yang dilakukannya pada orang-orangan ladang yang kumuh tersebut. Setelah beberapa waktu, ternyata boneka itu hidup dan mengejar kastil Howl untuk bertemu Sophie. Dalam kondisi tubuh yang menua, Sophie selalu terkena serangan jantung (?) karena ketakutan dengan sosok tersebut. Howl bahkan sempat menerbangkannya dengan tornado agar menjauh dari Sophie yang ketakutan. Di akhir cerita, orang-orangan ladang ini ternyata adalah separuh jiwa dari penyihir kerajaan yang dikutuk oleh the Witch of Waste. Dia juga yang akan menjadi sosok penting bagi Lettie, adik Sophie yang mempelajari ilmu sihir.



HOWL SI PENYIHIR PERLENTE
Film: Berambut pirang dan anggun, serta banyak menghabiskan waktu di kamar mandi serta keluar untuk berpartisipasi dalam perang. Dia dapat merubah diri menjadi manusia burung yang gagah, serta cukup sering bertukar pikiran dengan Calcifer. Terkuak kalau ternyata kegemarannya lama di kamar mandi adalah untuk mempercantik diri, dan merasa tidak berguna kalau tidak tampan. Berambut asli hitam dan menenggelamkan diri dalam slime hijau saat galau. Howl pengecut dan selalu lari dari Witch of Waste yang mengidolakannya dan Madam Sulliman, penyihir kerajaan yang hendak menjadikannya pengganti. Ia masih kekanakan dan egois, serta selalu lari dari masalah, namun begitu anggun dan sedikit banyak dapat diandalkan. Ia juga terus berjuang untuk meredam perang. Karakternya berkembang seiring waktu, menjadi lebih dewasa dan romantis saat disandingkan dengan Sophie.

si manja dengan green slime
Novel: Totally a nuisance, Howl adalah pria playboy yang suka mengejar wanita untuk meninggalkannya. Tidak ada perubahan menjadi manusia burung, dan kerjaannya hanyalah keluar untuk mencari gadis sambil membawa gitar, meski ia tidak dapat memainkannya. Michael dan Calcifer lelah karena mereka selalu menghadapi komplain dari gadis dan keluarga yang dipermainkan hatinya oleh Howl. Pirang dan perlente, serta lebih banyak menghabiskan waktu di kamar mandi daripada versi filmnya. Slime hijau masih muncul saat tantrum, dan Sophie yang ketus dapat menanganinya dengan baik. Selalu lari dari masalah dan tidak mau tahu urusan orang, bahkan selalu cuek saat mendapatkan pertanyaan. Calcifer pun tidak pernah sedikit pun menaruh hormat padanya. Sepanjang cerita, iblis api itu sibuk mengeluhkan Howl dan bersikeras untuk lepas darinya. Meski sosok yang sabar, Howl selalu bertengkar dengan Sophie, saling melemparkan sindiran kesabarannya habis. Namun di akhir cerita, Howl menunjukkan bahwa sebenarnya selama ini ia sosok yang strategis, cerdas, bertanggung jawab dan peduli pada Sophie namun dengan caranya sendiri. Ia tidak mau mengatakan rasa peduli dan menunjukkan sikap heroiknya yang muncul perlahan-lahan karena kesadaran yang ditanamkan Sophie dan desakan keadaan. Kejutan, sebenarnya Howl berasal dari dunia modern. Dia bernama asli Howell Jenkins dari Wales, Inggris. Ia juga sempat masuk universitas dan ikut klub rugby. 


ANJING PENGEKOR ROMBONGAN
Film: Saat Sophie datang ke istana, dia mengira seekor anjing yang mengikutinya adalah penyamaran dari Howl yang menjaganya. Namun setelah beberapa scene, ternyata anjing itu milik madam Sulliman, penyihir kerajaan yang diutus untuk membantu Sophie selamat sampai hadapannya. Dalam
perjalanan, Sophie berpapasan dengan Witch of Waste yang di akhir hari kehilangan kekuatannya. Setelah Howl menerobos masuk dan membawa Sophie melarikan diri, Witch of Waste dan anjing itu juga ikut pergi, menambah anggota keluarga kastil bergerak Howl. Sophie merawatnya dengan baik, bahkan anjing itu sangat suka mengikuti Sophie dan bermain bersama Markl.  


Novel: Sophie datang ke istana untuk menemui raja, karena penyihir kerajaan, Sulliman (pria, bukan wanita) menghilang berikut pangeran, dan Howl diutus untuk mencarinya. Tapi ia enggan (malas, sebenarnya) sehingga mengutus Sophie untuk menolak dan mencemarkan namanya agar raja tidak lagi percaya pada Howl. Namun kejujuran Sophie akan sifat Howl yang merepotkan malah membuat raja yakin ia memilih orang yang tepat dan akan mengangkat Howl menjadi penyihir kerajaan, menggantikan Sulliman. Di perjalanan pulang, Sophie bertemu dengan Witch of Waste, dan saling melemparkan ejekan. Sophie baru mendapatkan anjing yang ia kenali sebagai anjing milik Mrs. Fairfax, dan mendapati anjing tersebut adalah anjing jejadian karena ia sempat berubah menjadi manusia. Belakangan terkuak manusia jejadian tersebut adalah sisa dari percobaan sihir Witch of Waste.


Kira-kira begitulah garis besar perubahan. Masih banyak yang bisa dibahas, namun tidak ingin membuat pembaca terlalu kehilangan kesenangan saat menonton film maupun membaca novelnya. Didaulat sebagai novel untuk anak-anak, ceritanya cukup mengasyikkan. Ada  nilai-nilai kekeluargaan dan hiburan yang ringan. Tentu ada lebih banyak aksi dalam novelya. Seperti perjalanan Sophie dengan sepatu yang membawanya ke tempat lain dengan kecepatan cahaya, kegiatan mereka di ladang bunga Sulliman yang terganggu oleh kedatangan Turnip Head, rasa cemburu Sophie yang membabi buta setelah menyaksikan Howl merayu seorang perempuan asing *giggle*, rahasia kekuatan tersembunyi Sophie, pertempuran Howl dan Witch of Waste diatas pelabuhan Porthaven yang seru dan Howl lari dengan menyamar sebagai kucing, juga pertemuan dengan setan api selain Calcifer!

Film dan novelnya COMPLETELY DIFFERENT, jika saya bilang. Banyak fans asli novelnya kecewa, namun Diana, novelisnya sendiri mengaku sangat senang dengan hasil Hayao Miyazaki. Tidak perlu diperdebatkan mana yang lebih baik atau mana produk gagal, Hayao sendiri menjadikan Howl’s Moving Castle sebuah cerita baru yang berbeda dan menggungah, khas studio Ghibli. Bisa dibilang karya animasinya adalah dunia paralel dari novelnya. Masing-masing berdiri sendiri, memiliki kekuatannya sendiri, dan memiliki kesan masing-masing yang unik.