Tadi malam kuputuskan untuk sedikit produktif; melanjutkan
cerita fiksi yang kubuat sejak tahun 2014, daripada bermain game. Sudah lama
aku tidak menyentuhnya, maupun cerita-cerita fiksi lain yang kubuat. Semua
menggantung begitu saja, kehilangan kekuatan dan hasratnya di pikiranku. Aku
terasa kaku dalam mengetik, bahkan melanjutkan cerita yang notabene memang
mengalir begitu saja. Serial itu memang kudeklarasikan sebagai serial hura-hura
belaka, dimana alurnya benar-benar flowing
like a river, tidak peduli bagaimana plotnya, pengembangan karakternya, itu
hanya murni slice of life yang dibuat
berdasarkan hatiku. Untuk refreshing dari segala kepenatan, begitu motivasi
awalnya.
Tidak sampai satu paragraf, aku sudah kesulitan. Tidak hanya
memilih kata-kata yang tepat, namun juga alurnya. Kubaca lagi fiksi 50 halaman
tersebut dari awal. Dengan tertawa-tawa kecil sekilas dan mengimajinasikan
adegannya, aku berhasil menangkap alurnya dengan indah. Tapi untuk
melanjutkannya, aku gagap. Tanganku kaku, otakku kosong. Disaat itulah aku
merenungi lifetime, dimana dulu dari
SD hingga SMA selalu mengikuti lomba menulis, cerpen, dan cipta puisi, hingga
berhasil memborong piala yang banyak-banyak dipajang di sekolah yang haus
penghargaan. Sekarang, kenapa untuk menulis saja aku perlu berpikir keras?
Mengetik, menghapus, lalu mengetik lagi, menghapus lagi. Aku merasa tertekan.
Aku bukan lagi sosok yang penuh imajinasi dan keluwesan.
Apa yang membuatku seperti ini? Imajinasiku rusak? Kemampuan
analitikku hancur? Aku tidak mungkin menyalahkan kesibukan kuliah magisterku.
Itu terlalu pengecut. Lelah mental, mungkin? Atau memang benar seperti kata om
dan tante saat mereka berkumpul dan berdiskusi, bahwa, “orang dewasa itu
membosankan.”
Kita semua seperti itu. Terjebak formalitas dan rutinitas,
sehingga lupa akan apa arti ekspresi. Jalur spontanitas kita terhambat,
terganti oleh pikiran-pikiran penuh rencana dan kalkulatif. Jika membuka blog
ini dari awal terbentuknya, pastilah pembaca tidak percaya, apa benaryang
menulis ini orang yang sama? Totally different. Yes. Zaman dulu masalah yang
diangkat mungkin seputar makanan, curhatan labil, tempat menarik, event
hura-hura. Bahasa yang dipakai juga sangat kekanakan dan tidak teratur, penuh
emosi yang dilebih-lebihkan dan haus akan perhatian. Aku masih begitu, namun
dalam bungkus yang berbeda. Tapi setelah introspeksi diri dan menengok diriku
saat ini, pikiranku menolak deklarasi dua detik yang lalu tersebut. Saya
mungkin masih begitu. Mungkin, atau tidak sama sekali. Saya adalah orang yang
berbeda.
Lihatlah, dari menulis ‘aku’ menjadi ‘saya’, apakah ini
sudah merupakan bentuk dualisme dalam satu pribadi? Saya tidak membuat-buatnya.
Pikiran saya yang mengontrolnya.
Dewasa adalah dunia dimana yang satu membunuh yang lain.
Dimana masalah dan pemikiran yang masuk pada setiap kali kata ‘happy birthday’
terucap akan bertambah berat. Dimana manajemen hati yang buruk akan
mengakibatkan luka fatal. Jangan salahkan orang tuamu atau gurumu, tolol.
Mengapa seiring orang tumbuh dewasa, menemukan keganjilan dalam diri, mereka
akan sepenuhnya menyalahkan orang tua maupun gurunya? Ya memang pasti mereka
punya salah karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup atau melakukan
kesalahan. Namun lagi-lagi, andaikata anda-anda sekalian ini berhenti mengeluh
dan menyalahkan, kemudian mencari solusi atas masalah anda sendiri, dengan
kemampuan anda sendiri sebagai orang dewasa, apakah itu tidak merupakan sebuah
mukjizat?
Orang kerap bertanya apa itu mukjizat, apakah ada mukjizat?
Saya jawab masih. Mukjizat bagi saya ada di setiap hal, baik kecil maupun
besar. Itulah cara saya mensyukuri hidup dan hidup dengan (cukup) damai. Kita
jatuh dan berdiri lagi sendiri dan masih tetap bisa berjalan dengan enteng, apa
itu tidak sebuah mukjizat? Dimana di tempat lain, ada seseorang yang jatuh
dengan posisi tertentu sehingga mengalami cacat. Kita harus pandai bersyukur,
melihat semua dengan kacamata positif. Kalaupun kesusahan, yakinlah ada hikmah
atau cerita yang menarik menunggu. Dalam novel fiksi, seorang tokoh utama akan
mengalami banyak derita dan konflik sebelum mencapai happy end, bukan?
Namun begitulah, sekali lagi kita yang mengaku dewasa ini,
realitanya hanya sekumpulan pabrik. Penghasil fitnah dan cemoohan, juga pujian
dan santunan. Kita lupa bagaimana rasanya menjadi manusia seutuhnya, manusia
yang hadir sebagai pemelihara dan inovator kehidupan. Rutinitas membunuhmu.
Itulah kenapa prinsip saya, setiap hari harus ada sesuatu yang baru. Entah itu
mencoba warung baru, kafe baru, destinasi jalan sore baru, pemandangan toko maupun
alam yang baru, bahkan topik pembicaraan yang baru. Dengan itu saya bisa menjaga
apa yang baik dalam diri saya.
Mari kita hidupkan lagi apa yang sudah mati dalam diri kita.
Kita semua adalah tuhan dari kalbu kita.