Kehidupan
Yogyakarta yang dinamis telah membawa banyak perputaran artistik. Atmosfir yang
begitu kental dengan kesenian telah menebar motivasi berkarya yang amat sangat
tinggi, apabila dibandingkan dengan kota besar lainnya. Yogyakarta benar
wilayah istimewa, tempat berkumpulnya seniman berikut pasarnya yang besar.
Magnet pasar yang menjanjikan ini turut pula menarik bibit-bibit perupa muda
belia yang hendak mengikuti jejak pendahulunya.
Pembagian
kategori "muda” dalam berbagai aspek memiliki tolok ukur yang
berbeda. Jika dalam sensus penduduk usia
muda adalah usia produktif kerja dengan rentang 15-64 tahun, maka berbeda
dengan standard Masriadi Art Foundation, atau yang lebih dikenal dengan MAF. Organisasi
non-profit yang mendukung penuh apresiasi untuk seniman muda ini mendeklarasi
bahwa angkatan muda –dalam hal ini perupa— adalah mereka yang berusia dibawah
35 tahun.
Masriadi
Art Foundation berada dibawah asuhan I Nyoman Masriadi, seniman sejuta dollar
yang sederhana dan rendah hati. Galeri yang ramah ini khusus diperuntukkan bagi
perupa muda untuk maju dan mendapat tempat diantara pasar yang riuh. Masriadi
sadar bahwa para perupa muda ini membutuhkan tempat untuk karya serta asistensi
berkala untuk pengembangan dan kontinuitas berkarya.
Guna
menjalankan fungsi sebagai pencari talenta muda, salah satu agenda MAF adalah
mengadakan pameran kuratorial setiap beberapa bulan sekali. Pada bulan Oktober
2015 ini, MAF telah mengadakan pameran untuk yang ketiga kalinya. Dengan tema “Serendipity
Manner,” pameran dengan kurator I Gede Arya Sucrita ini menarik minat saya
untuk diangkat dalam tulisan kali ini.
MUDA,
BERKARYA, JUARA
Serendipity
Manner diikuti oleh 8 perupa muda Indonesia, yang rata-rata berdomisili di
Yogyakarta. Tidak heran, di kota kecil ini aliansi seni sekecil apapun sangat
mudah diakses. Lingkungan berkesenian yang kental menjadikan perupa belia bermunculan,
termotivasi baik oleh panggilan hati maupun rayuan rupiah. Seni adalah hal yang
tidak akan ada batasnya di Yogyakarta, selama 24 jam per 7 hari.
Muda
dan gegabah adalah sebutan khas. Emosi belum matang serta ingin menjadi pusat
perhatian, para perupa dibawah 35 tahun ini memiliki semangat yang tinggi.
Seingkali disetir oleh keinginan yang menggebu, seniman muda mampu muncul dan
menguasai kompetisi yang ada. Sedikit demi sedikit ide dan inovasi yang mereka
berikan dilirik oleh pasar, membuat seniman senior menjadi awas. Hasil dari
semangat ini dapat kita saksikan dari betapa tinggi teknik yang dipamerkan oleh
perupa muda, namun seringkali tidak diimbangi oleh konsep yang matang.
Mengapa
bisa teknis yang superior bisa tidak seimbang dengan konsep yang diusung?
Indikasi yang paling mudah adalah umur. Kematangan teknik dapat diasah, namun
kematangan pemikiran membutuhkan waktu yang tidak setara. Muda mudi cenderung
belum memiliki banyak pengalaman, baik estetis maupun konvensional, yang dapat
membangkitkan kecerdasan emosional. Seni hakikatnya adalah ekspresi dari
pikiran dan rasa. Emosi berperan penting dalam pembuatan sebuah karya,
mengesampingkan logika dan hitungan matematika. Michael Tucker menyatakan bahwa
jiwa dan imajinasi adalah faktor kunci dalam mengungkap seni. Bila dalam kepala
masih ada kebingungan dan kekosongan akan sebuah taksu dalam berkesenian, apakah
hasil visual itu layak disebut sebagai seni? Lalu apa yang terjadi dalam proses
berkarya para seniman muda selama ini? Gegabah dan ledakan selalu muncul dalam
visualisasi imajinasi liar mereka. Lepas dari tata dan teknis sudah menjadi
khas. Dunia kontemporer adalah dunia penuh ledakan jiwa dan tanda tanya, “apakah
ini seni?”
GADIS
KECIL DALI
Salah
satu gadis muda beruntung yang ikut lolos dalam kurasi MAF dalam Serendipity
Manner adalah Camelia Mitasari Hasibuan. Melejit dengan berbagai penghargaan
dan pameran, gadis belia ini termasuk salah satu seniman muda yang menjanjikan.
Ia mendisplay 3 karya orisinil dengan ukuran besar di pameran MAF, dengan judul
“Dampak Modernisasi,” “Adaptasi,” dan “Indonesia Punya, Indonesia Kaya,” yang
merupakan karya pemenang ajang bergengsi UOB 2013.
Profil
profesionalnya dimulai dari bangku menengah atas SMSR Yogyakarta, meski sebelum
itu dia sudah memulai melatih kepekaan visual dengan berbagai latihan. Lahir
dari keluarga seniman, tidak sulit bagi Camellia untuk mendapatkan banyak
pelajaran kesenian lebih awal dan lebih intens dibandingkan dengan perupa dari
keluarga non-seni. Inilah yang kemudian membuat karya-karyanya matang secara
teknis; realisme yang luar biasa, efek yang kuat, serta still-life yang mengagumkan. Namun apa yang ganjil dari gadis yang
baru menginjak 22 tahun di 2015 ini?
Disini
saya mengambil dua dari tiga karya Camelia, yakni “Dampak Modernisasi” dan
“Indonesia Punya, Indonesia Kaya,” karena saya memiliki banyak pertanyaan pada
karya tersebut dibandingkan dengan yang lain. Kedua karya ini adalah karya
surealis, begitu yang saya pikirkan saat pertama kali menaruh pandang. Adanya
perpaduan objek-objek yang tidak pada tempatnya sesuai realita, kemudian ada
distorsi bentuk pada beberapa bagian objek, serta warna yang digunakan. Camelia
menggunakan warna-warni kontras dan gradasi yang khas, dimana mengingatkan saya
akan sebuah nama fenomenal, Salvador Dali. Bapak surealis yang memberikan
visual khas pada karyanya ini kerap memberikan warna-warna hangat dan kontras
sebagai background, dengan gradasi yang lembut. Begitupula yang dilakukan oleh
Camelia pada kedua karya ini, dimana gradasi warna gelap menuju terang nampak
pada background serta bidang-bidang luas lukisan. Bisa jadi sebagai pelaku
surealis yang kerap mencari inspirasi, Salvador Dali sudah masuk dalam daftar
buronannya.
Gambar 1. Dampak Modernisasi
(Sumber: Katalog MAF)
Lukisan pertama, Dampak
Modernisasi, memiliki dimensi 120 x 180 sentimeter. Teknik Camelia saat
mengeksekusi cat minyak begitu handal, begitu halus dan menghasilkan objek
dengan realis yang tinggi. Disini ia
menggambarkan sebuah mobil biru pudar yang berkarat
serta rusak; banyak bagian dari mobil yang sudah usang dan lepas, tergeletak di
sekeliling badan mobil. Disini saya mengagumi lagi kejelian Camelia dalam
membuat detail pernak-pernik yang dahsyat. Meski hanya sekedar rongsokan
kecil-kecil, namun salah satu kekuatan lukisan ini ada pada penggambaram
tumpang tindihnya. Detail artistik juga nampak pada televisi rusak disebelah
mobil, gumpalan tanah di bawah mobil, serta penggambaran satwa-satwa yang ada
di dalam lukisan.
Daya
tariknya jelas, pada teknik yang luar biasa dan surealis yang nyata. Warna
hangat dari lukisan ini seakan menggambarkan kesenduan, meski dikemas dengan
gradasi gelap menuju terang khas Camelia yang lembut. Namun ketika ia
menggambarkan figur hewan-hewan pada dinding belakang mobil, lukisan ini terasa
turun nilainya. Tidak ada kesatuan antara figur-figur satwa langka tersebut
dengan objek disekitarnya. Terlihat resah, figur-figur tersebut hanya nampak
seperti tempelan. Begitu pula dengan gambar suasana perkotaan yang ia taruh
begitu saja di bagian kanan lukisan. Ia bahkan dengan jelas menggambarkan
pemandangan tersebut seperti poster, dengan aksen gulungan kertas di sebelah
kiri atas. Lagi-lagi, masih terlihat sebuah gambar dalam gambar, padahal ini
bukanlah kolase. Hal serupa menimpa telur yang baru menetas dan tunas diatas
tanah. Keberadaan mereka amat terpisah dari objek yang lain. Seperti hanya
menumpang lewat, atau melayang rendah begitu saja diatas kertas.
Dimana
Camila mengkomunikasikan secara nyata dampak dari modernisasi yang ia gadang
sebagai judul dari lukisan? Menurut analisis saya, lukisan ini memang sudah
cukup mewakili. Mobil tua yang terbengkalai, satwa-satwa yang resah, kemudian
pada bagian bawah, Camila membagi tanah menjadi 3 bagian; atas, tengah, bawah. Pada
bagian atas adalah tempat dimana mobil tua, televisi, dan perkakas rongsokan
berada. Diantara itu terdapat gerombolan semut dan tikus yang seakan merobek
panel dan mengintip tanah bagian tengah, dimana ada penggambaran gumpalan serta
tekstur tanah yang digarap dengan serius. Kali ini ada beberapa serangga dan
seekor kumbang yang merobek tepian panel, memaksa mata pengamat bergulir ke bagian
terbawah. Ada kehampaan dibawah, dimana warna gelap digelar, membayang-bayang
tiga tengkorak hewan. Camila memvisualkan periodisasi, dimana semakin lama
satwa akan menuju kepunahan. Ia tidak menggambarkan masa depan dalam
imajinasinya itu sebagai sesuatu yang penuh harapan, tapi hanya ada kesuraman
yang datar.
Gambar 2. Indonesia
Punya, Indonesia Kaya
(Sumber: Katalog MAF)
Masuk
pada lukisan kedua, lagi-lagi kita disuguhkan rasa pamer Camilia akan teknik
yang ia kuasai. Tidak hanya realis, kali ini ia mengusung pula gambar-gambar
naturalis hasil goresan sempurna cat minyaknya diatas kanvas. Kembali ia
mengusung objek satwa nasional, alam, serta kali ini bercampur dengan budaya,
sesuai dengan judul “Indonesia Punya, Indonesia Kaya.” Lagi, tidak ada yang
salah dengan realis dan naturalis yang ia angkat. Semua tergambar dengan indah
dan nyata. Sungai berikut pepohonan, serta terumbu karang yang tegas dalam
karyanya amat mewakili akan apa yang ia sebut kekayaan Indonesia. Satwa dan
objek budaya wayang golek serta topeng yang ia gambarkan memiliki pemilihan
warna dan pencahayaan yang sempurna.
Bila
pada karya sebelumnya ia menggunakan warna gradasi yang halus pada background,
kali ini Camelia menggunakan garis-garis geometris dan repetisi bidang, yang
menimbulkan kesan tegas, minimalis, juga modern. Sementara penyakit utama dari
Camelia dalam karya-karya yang dipamerkan dalam MAF adalah betapa dia gemar
membuat panel-panel yang membuat objek satu dengan yang lainnya tidak memiliki
kesatuan. Semua objek seakan berdiri sendiri, terkotak-kotak dengan egois dan
tidak saling mendukung. Peta Indonesia yang terkesan terselip dibawah pigura
kayu unfurnished terkesan sedikit
memaksa, namun sedikit terselamatkan oleh pemilihan warnanya yang sama seperti
background, sehingga tidak terlalu mencolok. Semua objek menghadap ke arah
kanan, mulai menunjukkan adanya ritme yang mengurangi keegoisan objek. Namun
ritme itu kembali terganggu dengan adanya penyu yang menghadap arah berlawanan,
entah memberikan sedikit sensasi agar ritme tidak datar, atau memang kurangnya
kepekaan komposisi pada perupanya.
Secara
teknis, Camelia tidak perlu diragukan lagi. Dia sudah memiliki goresan yang
matang dan kepekaan bentuk yang luar biasa. Namun disamping unity yang masih bimbang, tema yang
diangkat olehnya masih terlalu umum, tidak khusus dan spesial. Ia mengangkat
tema budaya dan lingkungan, serta menggambarkannya dengan gamblang, terutama
pada karya kedua. Saya merasa tidak terlalu terikat secara emosional dengan
karya-karya Camelia. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya bukanlah klise “is this art?” karena segi teknis
Camelia amat tinggi. Gangguan yang muncul dalam benak terdalam saya adalah,
bagaimana karya yang tidak memberikan getaran di dalam jiwa saya, mampu hadir
sebagai karya yang dielu-elukan sebagai yang terbaik? Sebagai penganut Bernard
S. Myers yang menyatakan bahwa yang terpenting dari sebuah karya seni bukanlah
masalah teknis namun emosi dan ekspresi yang dibawa, saya tidak bisa menyatakan
bahwa dua karya Camelia yang saya kritik kali ini adalah yang terbaik. Tidak
ada kekhasan dalam konseptual yang menceritakan siapa sang seniman yang penuh
gejolak dan menumpahkannya dalam kanvas dan cat. Bagaimanapun, Camelia harus
mulai menatap keluar dari kotak bila ingin karyanya lebih hidup daripada yang
sekarang.
TURUTI
HATI ATAU TURUTI GAJI?
Masa
muda adalah masa yang penuh semangat dan hasrat meluap. Ada tujuan-tujuan kecil
dalam hidup yang ingin dicapai dan diperjuangkan. Seringkali saat diri bersemangat,
ada banyak hal yang kemudian terlupa. Logika yang lebih diutamakan, rupiah yang
ingin diternakkan. Ini juga berlaku pada kegiatan seni itu sendiri, dimana
hakikat awal seni sebagai ekspresi pribadi, bergeser menjadi seni sebagai
komoditi. Tidak banyak lagi yang menaruh kepadatan rasa dalam karya. Logika lah
yang kemudian diutamakan dalam berkesenian, diikuti dengan harapan finansial.
Rahasia umum apabila setiap perupa pasti menginginkan kemapanan dari karya yang
dihasilkan. Inilah yang kemudian menjebak dalam para perupa.
Kritik
di masa post-modern memasuki masa terpentingnya. Kritik menjadi hakim, sebuah
karya disebut baik atau buruk, benar atau salah, dan kemudian akan berdampak krusial
bagi seniman. Kolektor secara sadar turut mendengarkan penilaian dari apa yang
kritikus seni kemukakan, guna mencari gengsi atau nilai tertentu dalam sebuah
karya. Perputaran inilah yang membuat perupa akhirnya harus menghilangkan jati
diri, mengikuti apa yang disebut baik dan buruk oleh kritikus serta pasar, dan
menjadikannya karya tetap. Yang ada kemudian adalah visualisasi nalar dan
dompet.
REFERENSI
Art Foundation, Masriadi. 2015. Serendipity Manner. Yogyakarta: Masriadi
Art Foundation
Rowland, Susan. 2008. Psyche and the Arts. New York: Routledge
Myers, Bernard.
1958. Understanding The Art. New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc
Marianto, M. Dwi. 2015. Art and Levitation. Yogyakarta: Pohon Cahaya
No comments:
Post a Comment