Isolasionisme dan
kontekstualisme dalam seni rupa sesungguhnya adalah sebuah metode atau cara
untuk mengapresiasi karya seni. Mendekati kritik seni, isolasionisme dan konstekstualisme
memiliki istilah lain dalam dunia kesenirupaan. Keduanya memiliki metode yang
bertolak belakang, dan masih digunakan untuk memahami seni hingga saat ini,
terutama dalam studi kesenirupaan.
Menurut John Hospers
dalam Understanding the Art, isolasionisme
adalah cara mengapreasiasi sebuah karya dengan mengamati mendalam dan
berulang-ulang. Saat kita menghadapi sebuah karya, kita tidak butuh teori dari
buku untuk menelaahnya. Selain itu juga tidak diperlukannya telaah sejarah
maupun budaya, hanya membutuhkan diri untuk melihat, mendengarkan, maupun
membacanya berulang-ulang hingga ada titik terang yang dapat diambil dari karya
tersebut. Hal ini juga dapat dinyatakan sebagai apresiasi tunggal, karena kita
melihat karya tersebut apa adanya, berdiri sendiri sebagai karya tersebut.
Pengetahuan akan latar belakang, motif, maupun seniman, hanya akan merubah
interpretasi murni dari karya yang ada. Meski dianggap sebagai sebuah apresiasi
murni, namun cara ini tidak cocok untuk karya yang membingungkan ataupun butuh
interpretasi dalam untuk menikmatinya. Seorang kritikus seni masih dapat
menggunakan isolasionisme, namun kurator tidak diperbolehkan menggunakan.
Sementara
kontekstualisme, adalah cara apresiasi karya yang harus sesuai konteksnya.
Disini penikmat seni tidak serta merta mengamati saja secara fisik dan
menafsirkan secara pribadi, namun harus mengetahui seluk beluk karya secara
penuh. Diantaranya media berkarya, tujuan berkarya, warisan budaya maupun
tradisi yang ada saat lukisan dibuat, kehidupan seniman, serta era seniman
hidup. Pengamatan yang mendalam tersebut akan memberikan apresiasi yang
mendalam dan lebih baik bagi karya tersebut (Hospers, 1982:82). Cara ini cukup
sering dipergunakan di era seni kontemporer, terutama pada praktik kuratorial.
Namun yang seringkali terjadi adalah adanya subjektifitas pada penilaian seni.
Meski karya tersebut biasa saja, namun nama seniman amat berpengaruh pada
pemberian nilai akhir karya, terutama pada harga. Tidak hanya nama, konsep yang
diusung dalam sebuah karya juga berperan besar menjadikan karya tersebut
bernilai atau tidak. Penilaian sebuah karya di mata kritikus dan kurator memang
berbeda, namun sisi kontekstual yang kuat akan mengangkat karya. Sejarah maupun
nilai yang melekat akan memberikan kesan mendalam daripada sekedar perwujudan
fisik tanpa nilai dan misteri yang menggungah pengamat.
Itulah mengapa,
disebutkan bahwa karya yang hidup adalah karya yang memiliki nilai kehidupan.
Perbedaan sebuah coretan sekilas dengan karya seni adalah nilai yang terkandung
di dalamnya. Karya seni yang berhasil adalah karya yang berhasil membawa emosi.
Seniman yang mengerjakan karya tersebut tentu tidak akan sembarang membentuk
atau menulis. Ada kesan dan pesan serta cerita tertentu yang dibawanya,
terkadang nilai budaya dan warisan peradaban yang membawa emosi pengamat kaya
seni. Contoh saat melihat lukisan kehidupan pasar di Bali, ada nilai-nilai
kehidupan yang diusung disana, membawa kita mengimajinasikan kehidupan Bali,
ataupun teringat saat-saat kita berwisata ke Bali. Secara tidak langsung
lukisan itu membawa kita pada pengetahuan indera dan rasa terdalam akan Bali.
Terlebih bila melihat kerumunan orang atau pedagang yang menunggu, ada
gugahan-gugahan kecil dan imajinasi yang berjalan. Itu pertanda bahwa lukisan
tersebut sudah berhasil memberikan nilai-nilai kehidupan pada penikmatnya.
PRAKTIK
TEORI
Untuk memahami lebih
lanjut mengenai isolasionisme dan kontekstualisme yang mengangkat nilai
kehidupan, berikut contoh penerapannya pada karya:
KARYA I
Secara isolasionisme dasar: Lukisan cat minyak
diatas kanvas ini menggambarkan seekor kuda biru yang kurus dan terlihat sedih,
dengan background berwarna kelabu.
Dari tubuh kuda, muncul lelehan-lelehan merah seperti darah. Saya merasa
sedikit takut dan sedih saat melihat lukisan ini, apalgi karena saya pecinta
hewan.
Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini milik Ugo
Untoro, seorang seniman besar kontemporer Indonesia. Berjudul Poem of Blood #3, lukisan ini dibuat
tahun 2006 dengan media cat minyak diatas kanvas. Ugo menggambarkan
kesedihannya akan kematian kuda peliharaan yang paling ia sayangi. Tidak heran
ia mengambil warna biru, yang secara psikologi bermakna kesedihan, kemudian
membuat postur tubuhnya meringkuk seperti sedang dalam duka. Lelehan-lelehan
cat merah yang artistik seakan menceritakan darah dan mensimbolkan kematian.
KARYA II
Secara isolasionisme dasar: Lukisan penggambaran seorang
wanita kurus yang tampak lelah sedang duduk di kursi antik. Wajahnya tidak
menampakkan senang maupun sedih, hanya datar dan menatap kedepan. Pakaiannya
kebaya dengan jarit tradisional, mungkin gambar wanita pada zaman kuno, bukan
masa modern. Dibelakang wanita tersebut terdapat tirai dengan renda-renda
floral, menambah kesan bahwa ini termasuk lukisan berumur tua. Warnanya
lukisannya kusam namun hangat.
Secara kontekstualisme dasar: Merupakan karya masterpiece dari S. Sudjojono, bapak
senirupa modern Indonesia. Terkenal sebagai penggerak senirupa dan penulis
tegas, Sudjojono juga pelukis yang handal, bahkan tidak menyangka bahwa beliau
memiliki sisi gelap kehidupan yang dikuak pada lukisan ini. Lukisan berjudul “Di
Balik Kelambu terbuka” menggambarkan Adhesti, seorang PSK simpanan Sudjojono.
Dimasa mudanya, beliau suka bermain wanita, akibat sakit hati karena lamarannya
ditolak oleh seorang gadis Betawi. Meskipun menggambarkan kesederhaan seorang
perempuan yang beristirahat dalam kursi, namun cerita yang kontroversial ini
berhasil mengangkat nilai lukisan Sudjojono hingga menjadi salah satu koleksi
bersejarah.
KARYA III
Secara isolasionisme dasar: Menggambarkan sekumpulan
orang sedang makan malam ditengah kesederhanaan. Mereka hanya memiliki kentang
dan kopi (atau teh) dan menunjukkan guratan prihatin pada wajahnya. Pencahaan
temaram dari lampu menambah suasana suram di ruangan tersebut. Pemilihan
warnanya juga kusam, sehingga atmosfir kesedihannya ikut terbawa pada pengamat.
Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini merupakan
karya maestro dunia, Van Gogh. Beliau menggambarkan situasi dimasanya, dimana
kemiskinan melanda pada tahun 1885. Mereka adalah penggambaran petani pada masa
itu; bertampang buruk dan kasar, serta hanya makan kentang. Suasana yang realis
ini sengaja diangkat oleh Van Gogh untuk menunjukkan kehidupan petani yang
jujur; mereka makan apa yang mereka tanam dengan tangan sendiri.
KARYA
IV
Secara isolasionisme dasar: Serial karya ini
menggunakan kulit kuda asli, dan mendeformasinya dengan cara yang unik. Satu
karya digantung begitu saja dan karya lain menampakkan pinggul dan kaki kuda
yang terjerembab di pasir. Karya ini memberikan penontonnya rasa horor yang
merinding, selain memang tujuannya untuk memberikan kesan surreal yang kuat. Kuda-kuda yang dideformasi dan diperlakukan
dengan tidak biasa ini bisa simbolisasi senimannya tidak menyukai kuda, atau
memberikan kritik baik sosial maupun budaya.
Secara kontekstualisme dasar: Sama seperti lukian
Poem of Blood, karya ini didedikasikan Ugo Untoro untuk mengenang kematian kuda
kesayangannya. Dibuat dengan kulit kuda asli, Ugo memvisualisasikan kesedihan
dan kematian. Seniman kontemporer ini memberikan nafas baru bagi kesenian
Indonesia dari munculnya serial karya fenomenal ini.
KESIMPULAN
Baik kontekstualisme
maupun isolasionisme adalah metode apreasiasi karya yang bertolak belakang.
Satu memilih menikmati karya dari kacamata pribadinya sendiri, satu lagi
menikmati karya sembari menelaah untuk mengetahui makna lebih dalam karya
tersebut baik dari literatur, analisis, dan dari senimannya sendiri.
Isolasionisme seni rupa lebih sederhana dan tidak diperuntukkan untuk
kuratorial, namun untuk kritikus masih dapat diterapkan. Tidak ada cara yang
lebih baik maupun lebih bagus. Keduanya memiliki kondisinya masing-masing untuk
dipergunakan.
Sementara nilai
kehidupan adalah nilai-nilai yang dibawa oleh sebuah karya. Entah memiliki
latar budaya, sosial, norma, maupun ekspresi pribadi seorang seniman. Nilai
kehidupan yang diangkat membuat sebuah karya menjadi hidup dan berkesan dimata
penikmatnya. Inilah yang kemudian menghasilkan taksu, sebuah kondisi dimana seniman maupun penikmat karya seni
menjadi satu dengan karya yang ada.
===================================================
Thanks to: Seruni Bodjawati, S.Sn. dan Sigit Tamtomo S.Sn. yang ikut membantu menghasilkan materi ini
No comments:
Post a Comment