Pages

Sunday, August 19, 2007

Short Stories : GADIS ITU

Aku terkejut ketika pintu ruanganku terbuka, dan masuklah seorang perempuan dengan wajah kusut dan bersungut-sungut. Matanya pucat, terlihat seperti tidak tidur selama beberapa hari. Wajah yang lumrah kutemui, dan bahkan, bila tidak ada wajah seperti itu yang masuk ke kantorku, sama saja aku tidak mendapatkan gaji. Yah, karena aku adalah seorang psikologi. Atau psikiater? Ah, terserahlah. Aku hanya menuruti apa yang orang juluki padaku. Dan urusanku, adalah bertatap muka dan mengajak ‘orang-orang tertentu’ untuk saling bercurhat. Dan sekarang, salah satunya sedang berhadapan denganku... “Ya...?” tanyaku lembut, seraya memberikan senyuman yang lebar pada remaja itu. “...apa masalahmu kali ini, dik...?” Perempuan itu mendengus. Ia duduk di kursi yang tersedia di depan mejaku dan kemudian ia bersandar dengan kasar padanya. Ia masih bersungut-sungut, dan tidak mau menatapku. Matanya hanya teralih pada lantai yang berkotak-kotak. “Dik...?” tanyaku sekali lagi. “...ada sesuatu yang...” “Banyak!” perempuan itu menjawab, dengan nada datar, dan masih tidak mau memandangiku. “banyak sekali...” Aku mengangguk pelan, dan mulai membuka buku catatanku. Akan kucatat segala yang dikatakan pasien, agar aku dapat menganalisis pada akhirnya. Pernah suatu ketika, aku mewawancarai seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya, dan dari segala aspek perilaku serta jawabannya yang tertera dalam buku catatan wawancaraku, akhirnya aku dan pihak rumah sakit menyatakan bahwa ia sakit jiwa. Sampai sekarang, masih kuingat jelas kepanikanku ketika aku mengetahui dialah pasien pertamaku yang ‘tervonis’ sakit jiwa, dari aku membaca catatan tentangnya. Yah itulah gunanya catatan; membangkitkan kenangan dan memori yang akan membuat kita tersenyum-senyum sendiri, dan para perawat akan mengatai bahwa aku sudah tertular para pasienku yang memang rata-rata suka tersenyum dan tertawa-tawa sendiri. “Jadi... apa masalahmu? Kalau seusiamu, biasanya broken home?” “Mungkin bisa dibilang...” perempuan itu menghela nafas, dan kemudian menatapku sayu. Rambutnya yang panjang sedikit bergerak seiring dengan kepalanya yang menatapku. Syukurlah, akhirnya ia mau juga menatapku. Kupikir saking depresinya, ia tidak mau menatap orang lain. “Jadi... bisakah kau ceritakan... secara spesifik padaku, dik...?” aku berusaha sekuat tenaga mempertahankan sikap lembutku, karena aku tau dampak yang akan terjadi kalau aku tidak menggunakan logat kelembutanku. “Bagaimana rasanya, jika anda dipanggil sampah oleh ibu anda?” “Eh...?” “Aku tanya, bagaimana rasanya, jika ibu yang membesarkan anda, yang mengandung dan melahirkan anda, memanggil anda sampah? Dan juga, perempuan itu juga mengatakan kalau semua hasil karya tangan, semua nilai, semua pekerjaan yang anda buat adalah sampah belaka?” Aku berusaha meresapi baik-baik kalimatnya. Sesekali kucatat juga dalam bukuku. Mungkin akar permsalahan perempuan di depanku ini adalah ibunya. “Jujur saja,” aku tersenyum. “saya sangat sakit hati, dik...” “Huh, anda berarti tidak turut menyesal dengan apa yang telah saya alami, kan? Buktinya anda masih tersenyum seperti itu!” Oh, Tuhan... seakan rasa benci menjalar di otaknya! “Apakah masalahnya hanya itu? Mungkin saat itu beliau merasa kesal dan capai, lalu...” “Pergi saja ke liang kubur! Aku tidak butuh argumentasi sarjana seperti anda. Orang-orang bodoh yang seenaknya saja menggunakan intelegensi mereka untuk mengatur kata-kata dan membuat orang lain tunduk! Dasar tanah busuk!” Aku memejamkan mata, dan mengambil nafas dalam-dalam. Wah, wah, memang benar, otaknya sudah rusak karena kebencian. “Dik...” aku menggigit bibirku. “saya tau kalau ini berat bagi adik, tapi adik juga perlu mengerem cara bicara adik...” Dia mulai menggeleng pelan. Serta-merta, dibenamkannya wajahnya kedalam pelukannya sendiri, seakan ia menyesal pada apa yang telah ia lakukan. “Maaf, entah kenapa. Tahun-tahun belakangan ini aku benar-benar rusak. Padahal dulu tidak. Sama sekali tidak...” “Berapa umurmu, dik?” “17 tahun...” “Oh, masih dalam masa puber. Mungkin kamu terlalu terpengaruh lingkungan.” Dia terdiam. Merenungi dan meresapi, seperti kebanyakan orang lainnya jika kita sudah mengatakan satu-dua patah kata mengenai sisi lainnya. “Ah, ibu dan ayah sama saja. Keduanya tidak pernah ada. Keduanya tidak pernah peduli...” aku terdiam, menunggu ia berbicara lebih jauh dalam tundukan kepalanya. “hanya adik yang dibela-bela. Ketika aku salah, mereka memarahiku habis-habisan. Jika adik yang berbuat salah, keduanya masih membala, memberi celah yang samar-samar bisa menutup kesalahannya, hingga yang disalahkan adalah pihak lain. Setiap kali, aku berbuat kasar dan melatih adikku untuk mandiri, untuk tidak manja. Tapi dua orang itu... dua orang yang sok kuasa itu... seenaknya salah tafsir, dan mencapku sebagai anak yang semaunya sendiri, anak yang... AAAAH!! MEREKA SEMUA SETAN!! MEREKA SEMUA KUTU NERAKA!!” Dia menggebrak-gebrak mejaku. Samar-samar bisa kulihat ia menintikkan air mata. Lumrah, seorang perempuan dalam masa pubertas yang mengalami hari perih tanpa bimbingan dan dorongan. Tapi perkataan kasarnya yang membuatku sesekali terpekik kaget, kenapa seorang perempuan dengan wajh lugu ini bisa bermulut tajam dan menusuk seperti itu? Apa orang-orang yang dibencinya pernah ia katai secara langsung seperti itu? Aku berdeham. “Dik, apa... kamu pernah... berkata secara langsung pada orang tuamu... perkataan-perkataan itu...?” Perempuan itu menggeleng, sambil tetap menangis. Sesekali air liurnya turut membasahi, menambah semaraknya tampilan berantakannya. “Lalu... dimana sekarang, keluargamu itu...?” “Di... tempat masing-masing... untuk... kerja...” “Mereka... gila kerja, ya?” “Berangkat pukul tujuh, pulang pukul enam sore. Kesempatan bagus untukku pergi bersama geng graffiti jalanan...” Aku terbelalak. Heh? Graffiti jalanan? Oh Tuhan, jangan-jangan anak ini salah satu dari biang keladi yang sangat suka corat-coret tembok kota itu? “Kamu... dan geng-mu itu...” aku tergagap. “benar-benar...” “Ya, kami suka corat-coret tembok polos di pojokan kota. Memang aku tidak resmi anggota mereka, hanya sesekali menonton aksi mereka, kabur ketika ada yang melihat, dan kemudian... pergi ke hiruk-pikuk masyarakat untuk menghilangkan jejak. Profesional, kan? Bahkan kamarku sudah aku corat-coret duluan, jauh sebelum aku kenalan dengan mereka. Itu tanda, bahwa itulah awal aku suka dengan jalanan... 2 tahun yang lalu...” Kugoreskan kembali penaku pada buku catatan. Perempuan ini benar-benar butuh pengawasan! “Lalu, apa kata orang tuamu begitu tau kalau kau mencoreti dinding kamarmu, dua tahun yang lalu?” “They just silent. Ignore me...” Aku mengangkat alis. “Ow...” “Tapi sejak itulah julukan ‘anak yang semaunya sendiri’ mulai digalakkan!” Aku mulai menyukai logat perempuan misterius ini. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk lebih memfokuskan pertanyaan seputar dirinya daripada orang tuanya, agar aku bisa lebih mengenalnya, dan menyimpulkan kepribadiannya. “Uhm, corat-coret tembok, jalan-jalan, dan bergraffiti-ria. Kau suka seni, ya?” “Dia pacarku. Aku tidak suka cowok, tapi suka seni!” “Hmm... sangat mengagumkan. Lalu, tak apa, kan, kalau aku tanya bertubi-tubi padamu?” “Tak apa. Aku suka pertanyaan mengenai diriku...” ia mulai tersenyum kecil. Baguslah, aku naik satu tahap padanya. “Baiklah, kau bersekolah, kan? Apakah di sekolah kau mempunyai teman?” “Teman banyak, sahabat ada. Tapi yang paling aku junjung tinggi hanyalah graffiti. Aku tidak butuh yang lainnya untuk penenang stressku...” “Coba kutebak. Kau suka memendam rasa marahmu, kan?” “Kurasa.” "Dan kau pasti selalu merasa pusing dan penat, setiap kali kau merasa kesulitan, ataupun sedih, iya, kan?” “Efek dari meredam amarah dalam jangka waktu yang panjang. Tak usah kau beritaupun, aku sudah tau!” Aku tertawa grogi. Dasar! Kemampuan gadis ini boleh juga! “Oh, ya, aku ingin tanya. kau pasti sangat membenci rumah, kan?” Ia terdiam. Pandangannya berubah menjadi mengerikan. “Yang mana? Ada sekolah, jalanan, dan tempat tinggal orang tuaku. Yang mana rumah?” Aku menghela nafas. Rumah ia sebut tempat tinggal orang tuanya? Berapa dalam jurang kebenciannya pada orang tuanya?? “Selama ini kau hidup dimana?” “Dengan terpaksa, aku numpang makan dan tidur di tempat tinggal ortuku. Selebihnya, aku berada di jalanan, dan sekolah. Jadi, yang mana rumah?” Ini ujianku. Yeah, aku yakin gadis ini adalah ujianku. Perempuan yang broken home dan sangat membenci orang tuanya, melebihi apapun.... aku harus menyadarkannya! “Ng... dik..” aku menepuk dahiku perlahan. “kau ingat jasa yang diberikan orang tua padamu?” Ia terdiam lagi. Berpikir, kemudian bersandar pada kursi. Lalu, sambil berhitung dengan jari, ia mulai mengatakan rentetan kata; “Ng... memberi uang untuk SPP sekolah, membelikan baju seragam, memberikan uang untuk pelunasan uang gedung yang ditunggak, dan kemudian... membiarkan aku hilang selama dua malam berturut-turut untuk menyelesaikan graffiti. Yeah, hanya itu...” “Yy... yang... lain...?” “Sudah aku lupakan. Sudah aku kubur, dan aku tidak bisa ingat lagi...” “Dan.... semuanya untuk... sekolah?” “Itu sifat mereka. Hanya mau UNTUK SEKOLAH. Yang lain, aku berusaha sendiri. Aku tidak butuh mereka untuk apa yang aku butuhkan. Aku hanya butuh mereka untuk pengambilan rapot, panggilan orang tua, dan acara wisuda. Selebihnya, aku bisa mandiri. Hanya itu yang masih bisa inderaku rasakan...” “Kau... kau terlalu...” “Aku mau pergi. Hawanya tidak enak di rumah sakit ini. Apalagi di kantor dokter bedah, banyak yang menungguinya...” “HAH? Apa katamu...?” aku terbelalak, berharap salah dengar. “Dokter bedah memang pendosa. Terlalu banyak membedah. Mati juga pasti rohnya dibedah oleh korbannya...” perempuan itu segera berdiri dari kursi pasienku. Serta-merta, ia berlari menuju pintu, dan menutupnya keras-keras. Aku menghela nafas panjang. Kalau dibiarkan lebih jauh, anak itu bisa berbahaya! Lagipula, kalimat-kalimatnya juga membuat bulu kudukku merinding! Atas kemauanku yang bulat ini, aku berniat untuk mencegahnya pergi. Kuberdirikan tubuhku, dan aku segera berlari kecil menuju pintu kantorku. Ketika aku membukanya, aku terkejut. Aku hanya mendapati lorong panjang rumah sakit, tanpa adanya sosok perempuan remaja yang sedang berlari atau berjalan. Glek! Kemana dia? Kemana perempuan itu? Pandanganku teralih pada jendela yang terbuka lebar, tak jauh dari pintu kantorku. Aku berjalan menuju arah jendela, seakan sesuatu menuntunku untuk kesana. Semula tak ada yang aneh ketika aku ‘bertengger’ di jendela itu. Tapi ketika aku menatap ke bawah, sesuatu membuatku terperangah. Seutas tali, yang kuingat seperti tali milik anak pramuka, terhampar kebawah. Dan disana, diujungnya yang menempel ke atap bangunan lantai satu, terdapat sosok yang dengan santainya berjalan, sambil sesekali tertatih karena licinnya atap. Perempuan itu! Dia sudah benar-benar kacau! Berani sekali ia pergi melalui jendela, dan berjalan diatas atap rumah sakit. Kalau ada security yang tau, ia bisa ditangkap dan diadili!! Merasa diperhatikan atau memang ia sudah tau, perempuan itu menoleh pada arahku, dan tersenyum lebar. “Maaf, aku tidak bisa bayar biaya konsultasinya!!” Tubuhku lemas seketika. Bukan, bukan perihal ia tidak membayar, tapi, kenakatan dan kekacauan otak perempuan itu! Dan mulai detik ini, aku bertekad, kalau aku harus mendapatkan perempuan itu, entah kapan, bagaimana, dan dimana, aku harus mendapatkan perempuan itu, untuk menyadarkannya... ~ “Siúil trí na stoirmeacha” Prologue Lulu @ 2007