Pages

Thursday, December 31, 2015

Isolasionisme dan Konstektualisme dalam Seni


Isolasionisme dan kontekstualisme dalam seni rupa sesungguhnya adalah sebuah metode atau cara untuk mengapresiasi karya seni. Mendekati kritik seni, isolasionisme dan konstekstualisme memiliki istilah lain dalam dunia kesenirupaan. Keduanya memiliki metode yang bertolak belakang, dan masih digunakan untuk memahami seni hingga saat ini, terutama dalam studi kesenirupaan.

Menurut John Hospers dalam Understanding the Art, isolasionisme adalah cara mengapreasiasi sebuah karya dengan mengamati mendalam dan berulang-ulang. Saat kita menghadapi sebuah karya, kita tidak butuh teori dari buku untuk menelaahnya. Selain itu juga tidak diperlukannya telaah sejarah maupun budaya, hanya membutuhkan diri untuk melihat, mendengarkan, maupun membacanya berulang-ulang hingga ada titik terang yang dapat diambil dari karya tersebut. Hal ini juga dapat dinyatakan sebagai apresiasi tunggal, karena kita melihat karya tersebut apa adanya, berdiri sendiri sebagai karya tersebut. Pengetahuan akan latar belakang, motif, maupun seniman, hanya akan merubah interpretasi murni dari karya yang ada. Meski dianggap sebagai sebuah apresiasi murni, namun cara ini tidak cocok untuk karya yang membingungkan ataupun butuh interpretasi dalam untuk menikmatinya. Seorang kritikus seni masih dapat menggunakan isolasionisme, namun kurator tidak diperbolehkan menggunakan.

Sementara kontekstualisme, adalah cara apresiasi karya yang harus sesuai konteksnya. Disini penikmat seni tidak serta merta mengamati saja secara fisik dan menafsirkan secara pribadi, namun harus mengetahui seluk beluk karya secara penuh. Diantaranya media berkarya, tujuan berkarya, warisan budaya maupun tradisi yang ada saat lukisan dibuat, kehidupan seniman, serta era seniman hidup. Pengamatan yang mendalam tersebut akan memberikan apresiasi yang mendalam dan lebih baik bagi karya tersebut (Hospers, 1982:82). Cara ini cukup sering dipergunakan di era seni kontemporer, terutama pada praktik kuratorial. Namun yang seringkali terjadi adalah adanya subjektifitas pada penilaian seni. Meski karya tersebut biasa saja, namun nama seniman amat berpengaruh pada pemberian nilai akhir karya, terutama pada harga. Tidak hanya nama, konsep yang diusung dalam sebuah karya juga berperan besar menjadikan karya tersebut bernilai atau tidak. Penilaian sebuah karya di mata kritikus dan kurator memang berbeda, namun sisi kontekstual yang kuat akan mengangkat karya. Sejarah maupun nilai yang melekat akan memberikan kesan mendalam daripada sekedar perwujudan fisik tanpa nilai dan misteri yang menggungah pengamat.

Itulah mengapa, disebutkan bahwa karya yang hidup adalah karya yang memiliki nilai kehidupan. Perbedaan sebuah coretan sekilas dengan karya seni adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Karya seni yang berhasil adalah karya yang berhasil membawa emosi. Seniman yang mengerjakan karya tersebut tentu tidak akan sembarang membentuk atau menulis. Ada kesan dan pesan serta cerita tertentu yang dibawanya, terkadang nilai budaya dan warisan peradaban yang membawa emosi pengamat kaya seni. Contoh saat melihat lukisan kehidupan pasar di Bali, ada nilai-nilai kehidupan yang diusung disana, membawa kita mengimajinasikan kehidupan Bali, ataupun teringat saat-saat kita berwisata ke Bali. Secara tidak langsung lukisan itu membawa kita pada pengetahuan indera dan rasa terdalam akan Bali. Terlebih bila melihat kerumunan orang atau pedagang yang menunggu, ada gugahan-gugahan kecil dan imajinasi yang berjalan. Itu pertanda bahwa lukisan tersebut sudah berhasil memberikan nilai-nilai kehidupan pada penikmatnya. 


PRAKTIK TEORI

Untuk memahami lebih lanjut mengenai isolasionisme dan kontekstualisme yang mengangkat nilai kehidupan, berikut contoh penerapannya pada karya:

KARYA I


Secara isolasionisme dasar: Lukisan cat minyak diatas kanvas ini menggambarkan seekor kuda biru yang kurus dan terlihat sedih, dengan background berwarna kelabu. Dari tubuh kuda, muncul lelehan-lelehan merah seperti darah. Saya merasa sedikit takut dan sedih saat melihat lukisan ini, apalgi karena saya pecinta hewan.

Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini milik Ugo Untoro, seorang seniman besar kontemporer Indonesia. Berjudul Poem of Blood #3, lukisan ini dibuat tahun 2006 dengan media cat minyak diatas kanvas. Ugo menggambarkan kesedihannya akan kematian kuda peliharaan yang paling ia sayangi. Tidak heran ia mengambil warna biru, yang secara psikologi bermakna kesedihan, kemudian membuat postur tubuhnya meringkuk seperti sedang dalam duka. Lelehan-lelehan cat merah yang artistik seakan menceritakan darah dan mensimbolkan kematian.

KARYA II

Secara isolasionisme dasar: Lukisan penggambaran seorang wanita kurus yang tampak lelah sedang duduk di kursi antik. Wajahnya tidak menampakkan senang maupun sedih, hanya datar dan menatap kedepan. Pakaiannya kebaya dengan jarit tradisional, mungkin gambar wanita pada zaman kuno, bukan masa modern. Dibelakang wanita tersebut terdapat tirai dengan renda-renda floral, menambah kesan bahwa ini termasuk lukisan berumur tua. Warnanya lukisannya kusam namun hangat.

Secara kontekstualisme dasar: Merupakan karya masterpiece dari S. Sudjojono, bapak senirupa modern Indonesia. Terkenal sebagai penggerak senirupa dan penulis tegas, Sudjojono juga pelukis yang handal, bahkan tidak menyangka bahwa beliau memiliki sisi gelap kehidupan yang dikuak pada lukisan ini. Lukisan berjudul “Di Balik Kelambu terbuka” menggambarkan Adhesti, seorang PSK simpanan Sudjojono. Dimasa mudanya, beliau suka bermain wanita, akibat sakit hati karena lamarannya ditolak oleh seorang gadis Betawi. Meskipun menggambarkan kesederhaan seorang perempuan yang beristirahat dalam kursi, namun cerita yang kontroversial ini berhasil mengangkat nilai lukisan Sudjojono hingga menjadi salah satu koleksi bersejarah.

KARYA III

Secara isolasionisme dasar: Menggambarkan sekumpulan orang sedang makan malam ditengah kesederhanaan. Mereka hanya memiliki kentang dan kopi (atau teh) dan menunjukkan guratan prihatin pada wajahnya. Pencahaan temaram dari lampu menambah suasana suram di ruangan tersebut. Pemilihan warnanya juga kusam, sehingga atmosfir kesedihannya ikut terbawa pada pengamat.

Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini merupakan karya maestro dunia, Van Gogh. Beliau menggambarkan situasi dimasanya, dimana kemiskinan melanda pada tahun 1885. Mereka adalah penggambaran petani pada masa itu; bertampang buruk dan kasar, serta hanya makan kentang. Suasana yang realis ini sengaja diangkat oleh Van Gogh untuk menunjukkan kehidupan petani yang jujur; mereka makan apa yang mereka tanam dengan tangan sendiri.      


KARYA IV



Secara isolasionisme dasar: Serial karya ini menggunakan kulit kuda asli, dan mendeformasinya dengan cara yang unik. Satu karya digantung begitu saja dan karya lain menampakkan pinggul dan kaki kuda yang terjerembab di pasir. Karya ini memberikan penontonnya rasa horor yang merinding, selain memang tujuannya untuk memberikan kesan surreal yang kuat. Kuda-kuda yang dideformasi dan diperlakukan dengan tidak biasa ini bisa simbolisasi senimannya tidak menyukai kuda, atau memberikan kritik baik sosial maupun budaya. 


Secara kontekstualisme dasar: Sama seperti lukian Poem of Blood, karya ini didedikasikan Ugo Untoro untuk mengenang kematian kuda kesayangannya. Dibuat dengan kulit kuda asli, Ugo memvisualisasikan kesedihan dan kematian. Seniman kontemporer ini memberikan nafas baru bagi kesenian Indonesia dari munculnya serial karya fenomenal ini.


KESIMPULAN

Baik kontekstualisme maupun isolasionisme adalah metode apreasiasi karya yang bertolak belakang. Satu memilih menikmati karya dari kacamata pribadinya sendiri, satu lagi menikmati karya sembari menelaah untuk mengetahui makna lebih dalam karya tersebut baik dari literatur, analisis, dan dari senimannya sendiri. Isolasionisme seni rupa lebih sederhana dan tidak diperuntukkan untuk kuratorial, namun untuk kritikus masih dapat diterapkan. Tidak ada cara yang lebih baik maupun lebih bagus. Keduanya memiliki kondisinya masing-masing untuk dipergunakan.

Sementara nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang dibawa oleh sebuah karya. Entah memiliki latar budaya, sosial, norma, maupun ekspresi pribadi seorang seniman. Nilai kehidupan yang diangkat membuat sebuah karya menjadi hidup dan berkesan dimata penikmatnya. Inilah yang kemudian menghasilkan taksu, sebuah kondisi dimana seniman maupun penikmat karya seni menjadi satu dengan karya yang ada.  
===================================================


Thanks to: Seruni Bodjawati, S.Sn. dan Sigit Tamtomo S.Sn. yang ikut membantu menghasilkan materi ini

Thursday, December 24, 2015

Jogja Spot: Kolam Renang UNY

lokasi kolam renang (titik merah)


Baru pindah beberapa bulan di Yogyakarta, hal yang paling utama dalam list pencarian adalah kolam renang. Di kota asal, Malang, olahraga utama saya adalah berenang. Seminggu sekali dan memilih pagi hari pukul 6, saya punya spot-spot renang sendiri yang selain nyaman, aman, dan memberikan harga yang bersahabat. Di Yogyakarta, kolam renang pertama saya adalah Hotel Matahari. Sangat dekat dengan kost, sudah mulai dapat didatangi bahkan dari jam 5 (meski loket buka jam 7) dan nyaman karena berada di dalam hotel. Kamar mandinya juga sangat nyaman. Tapi harga 20.000 masih terlalu berat untuk saya sebagai mahasiswa rantau.

Mencari di google dan mendapatkan rekomendasi dari teman, saya mencoba pergi ke kolam renang milik Universitas Negeri Yogyakarta. Banyak respon positif dari teman-teman, selain harganya yang ramah. Sangat maklum sebuah universitas memiliki sebuah kolam renang, apalagi untuk universitas negeri. Di almamater saya terdahulu, Universitas Negeri Malang, juga memiliki sebuah kolam renang yang disebut sebagai 'kolam renang pendidikan,' dibangun untuk memfasilitasi mahasiswa jurusan kependidikan olahraga. Sayangnya, di Malang kolamnya masih proto-type dan hanya dapat digunakan untuk kegiatan akademik saja. 

Kembali ke kunjungan saya ke kolam UNY, tempat ini cukup dekat dari jalan raya. Bertempat di lingkungan UNY namun tidak perlu masuk ke dalam universitasnya. Tempat parkirnya cukup luas dan dijaga. Untuk motor tarifnya 2000 dan mobil 3000 rupiah. Kami segera ke loket dan mendapati bahwa biayanya hanya 9000 rupiah. Sementara untuk waktu bukanya, pukul 06.00-18.00. Dengan informasi ini, sudah cukup bagi saya untuk berkunjung kesini lagi di waktu paling pagi.

kolam standard. begitu masuk langsung disambut

Masuk ke dalam, langsung terdapat pemandangan kolam luas yang ramai. Saat itu kami datang pukul 9.30. Meski pengunjung ramai, namun kolam masih terasa lengang. Tidak harus bingung mencari ruang ganti, karena begitu masuk, kita sudah disambut oleh ruang ganti di sebelah kanan dan kiri. Kanan untuk pria, kiri untuk wanita. Ruang ganti merupakan bilik-bilik pribadi, bersanding dengan ruang bilas dengan shower berair kencang.

Ternyata ada 3 kolam renang di dalam lokasi. Kolam standard adalah kolam luas yang menyambut kedatangan kita, kedalaman sekitar 1,2 hingga 2,3 meter. Cukup aman untuk bermain disana, banyak yang memilih berada di sini. Saya mencoba berenang 2-3 putaran, dan waw, kaporitnya tinggi sekali. Airnya jernih dan suhunya tidak terlalu dingin, namun kaporitnya membuat mata perih dan tangan saya sampai keriput.

Mencoba hal baru, saya dan teman berpindah ke kolam dalam. Kolam ini tidak terlalu luas dan digunakan untuk lompat indah. Kami menyimpulkan demikian karena ada pijakan tinggi untuk lompat indah di sisi kolam. Warnanya lebih biru dan airnya lebih segar, kalau meurut saya. Kedalamannya tidak saya ketahui, tapi menurut teman saya kemungkinan 4-5 meter, bahkan lebih.

Untuk kolam ketiga, berada di sudut, saya belum mencoba dan melongok lebih lagi karena sudah nyaman dengan kolam yang dalam dan menghabiskan satu jam berenang disana. Saat saya datang, ada kelompok mahasiswa sedang berlatih menyelam dan berenang, namun tidak mengganggu pengunjung. Mereka juga tidak menuntut pengunjung untuk menyingkir.

Saya cukup nyaman berada disini dan pasti akan kembali lagi. Terima kasih untuk Universitas Negeri Yogyakarta, telah menyediakan kolam yang nyaman, aman, dan murah untuk masyarakat Yogyakarta.

kolam dalam-dengan pijakan lompat indah, dan di pojok ada kolam ketiga
 




Wednesday, December 23, 2015

GORESAN SUNYI: Sebuah Kritik Dini yang Reckless


            Kehidupan Yogyakarta yang dinamis telah membawa banyak perputaran artistik. Atmosfir yang begitu kental dengan kesenian telah menebar motivasi berkarya yang amat sangat tinggi, apabila dibandingkan dengan kota besar lainnya. Yogyakarta benar wilayah istimewa, tempat berkumpulnya seniman berikut pasarnya yang besar. Magnet pasar yang menjanjikan ini turut pula menarik bibit-bibit perupa muda belia yang hendak mengikuti jejak pendahulunya.
            Pembagian kategori "muda” dalam berbagai aspek memiliki tolok ukur yang berbeda.  Jika dalam sensus penduduk usia muda adalah usia produktif kerja dengan rentang 15-64 tahun, maka berbeda dengan standard Masriadi Art Foundation, atau yang lebih dikenal dengan MAF. Organisasi non-profit yang mendukung penuh apresiasi untuk seniman muda ini mendeklarasi bahwa angkatan muda –dalam hal ini perupa— adalah mereka yang berusia dibawah 35 tahun.
            Masriadi Art Foundation berada dibawah asuhan I Nyoman Masriadi, seniman sejuta dollar yang sederhana dan rendah hati. Galeri yang ramah ini khusus diperuntukkan bagi perupa muda untuk maju dan mendapat tempat diantara pasar yang riuh. Masriadi sadar bahwa para perupa muda ini membutuhkan tempat untuk karya serta asistensi berkala untuk pengembangan dan kontinuitas berkarya.
            Guna menjalankan fungsi sebagai pencari talenta muda, salah satu agenda MAF adalah mengadakan pameran kuratorial setiap beberapa bulan sekali. Pada bulan Oktober 2015 ini, MAF telah mengadakan pameran untuk yang ketiga kalinya. Dengan tema “Serendipity Manner,” pameran dengan kurator I Gede Arya Sucrita ini menarik minat saya untuk diangkat dalam tulisan kali ini.



MUDA, BERKARYA, JUARA
            Serendipity Manner diikuti oleh 8 perupa muda Indonesia, yang rata-rata berdomisili di Yogyakarta. Tidak heran, di kota kecil ini aliansi seni sekecil apapun sangat mudah diakses. Lingkungan berkesenian yang kental menjadikan perupa belia bermunculan, termotivasi baik oleh panggilan hati maupun rayuan rupiah. Seni adalah hal yang tidak akan ada batasnya di Yogyakarta, selama 24 jam per 7 hari.
            Muda dan gegabah adalah sebutan khas. Emosi belum matang serta ingin menjadi pusat perhatian, para perupa dibawah 35 tahun ini memiliki semangat yang tinggi. Seingkali disetir oleh keinginan yang menggebu, seniman muda mampu muncul dan menguasai kompetisi yang ada. Sedikit demi sedikit ide dan inovasi yang mereka berikan dilirik oleh pasar, membuat seniman senior menjadi awas. Hasil dari semangat ini dapat kita saksikan dari betapa tinggi teknik yang dipamerkan oleh perupa muda, namun seringkali tidak diimbangi oleh konsep yang matang.
            Mengapa bisa teknis yang superior bisa tidak seimbang dengan konsep yang diusung? Indikasi yang paling mudah adalah umur. Kematangan teknik dapat diasah, namun kematangan pemikiran membutuhkan waktu yang tidak setara. Muda mudi cenderung belum memiliki banyak pengalaman, baik estetis maupun konvensional, yang dapat membangkitkan kecerdasan emosional. Seni hakikatnya adalah ekspresi dari pikiran dan rasa. Emosi berperan penting dalam pembuatan sebuah karya, mengesampingkan logika dan hitungan matematika. Michael Tucker menyatakan bahwa jiwa dan imajinasi adalah faktor kunci dalam mengungkap seni. Bila dalam kepala masih ada kebingungan dan kekosongan akan sebuah taksu dalam berkesenian, apakah hasil visual itu layak disebut sebagai seni? Lalu apa yang terjadi dalam proses berkarya para seniman muda selama ini? Gegabah dan ledakan selalu muncul dalam visualisasi imajinasi liar mereka. Lepas dari tata dan teknis sudah menjadi khas. Dunia kontemporer adalah dunia penuh ledakan jiwa dan tanda tanya, “apakah ini seni?”



GADIS KECIL DALI
            Salah satu gadis muda beruntung yang ikut lolos dalam kurasi MAF dalam Serendipity Manner adalah Camelia Mitasari Hasibuan. Melejit dengan berbagai penghargaan dan pameran, gadis belia ini termasuk salah satu seniman muda yang menjanjikan. Ia mendisplay 3 karya orisinil dengan ukuran besar di pameran MAF, dengan judul “Dampak Modernisasi,” “Adaptasi,” dan “Indonesia Punya, Indonesia Kaya,” yang merupakan karya pemenang ajang bergengsi UOB 2013.
            Profil profesionalnya dimulai dari bangku menengah atas SMSR Yogyakarta, meski sebelum itu dia sudah memulai melatih kepekaan visual dengan berbagai latihan. Lahir dari keluarga seniman, tidak sulit bagi Camellia untuk mendapatkan banyak pelajaran kesenian lebih awal dan lebih intens dibandingkan dengan perupa dari keluarga non-seni. Inilah yang kemudian membuat karya-karyanya matang secara teknis; realisme yang luar biasa, efek yang kuat, serta still-life yang mengagumkan. Namun apa yang ganjil dari gadis yang baru menginjak 22 tahun di 2015 ini?
            Disini saya mengambil dua dari tiga karya Camelia, yakni “Dampak Modernisasi” dan “Indonesia Punya, Indonesia Kaya,” karena saya memiliki banyak pertanyaan pada karya tersebut dibandingkan dengan yang lain. Kedua karya ini adalah karya surealis, begitu yang saya pikirkan saat pertama kali menaruh pandang. Adanya perpaduan objek-objek yang tidak pada tempatnya sesuai realita, kemudian ada distorsi bentuk pada beberapa bagian objek, serta warna yang digunakan. Camelia menggunakan warna-warni kontras dan gradasi yang khas, dimana mengingatkan saya akan sebuah nama fenomenal, Salvador Dali. Bapak surealis yang memberikan visual khas pada karyanya ini kerap memberikan warna-warna hangat dan kontras sebagai background, dengan gradasi yang lembut. Begitupula yang dilakukan oleh Camelia pada kedua karya ini, dimana gradasi warna gelap menuju terang nampak pada background serta bidang-bidang luas lukisan. Bisa jadi sebagai pelaku surealis yang kerap mencari inspirasi, Salvador Dali sudah masuk dalam daftar buronannya.



Gambar 1. Dampak Modernisasi
(Sumber: Katalog MAF)

Lukisan pertama, Dampak Modernisasi, memiliki dimensi 120 x 180 sentimeter. Teknik Camelia saat mengeksekusi cat minyak begitu handal, begitu halus dan menghasilkan objek dengan realis yang tinggi. Disini ia
menggambarkan sebuah mobil biru pudar yang berkarat serta rusak; banyak bagian dari mobil yang sudah usang dan lepas, tergeletak di sekeliling badan mobil. Disini saya mengagumi lagi kejelian Camelia dalam membuat detail pernak-pernik yang dahsyat. Meski hanya sekedar rongsokan kecil-kecil, namun salah satu kekuatan lukisan ini ada pada penggambaram tumpang tindihnya. Detail artistik juga nampak pada televisi rusak disebelah mobil, gumpalan tanah di bawah mobil, serta penggambaran satwa-satwa yang ada di dalam lukisan.
            Daya tariknya jelas, pada teknik yang luar biasa dan surealis yang nyata. Warna hangat dari lukisan ini seakan menggambarkan kesenduan, meski dikemas dengan gradasi gelap menuju terang khas Camelia yang lembut. Namun ketika ia menggambarkan figur hewan-hewan pada dinding belakang mobil, lukisan ini terasa turun nilainya. Tidak ada kesatuan antara figur-figur satwa langka tersebut dengan objek disekitarnya. Terlihat resah, figur-figur tersebut hanya nampak seperti tempelan. Begitu pula dengan gambar suasana perkotaan yang ia taruh begitu saja di bagian kanan lukisan. Ia bahkan dengan jelas menggambarkan pemandangan tersebut seperti poster, dengan aksen gulungan kertas di sebelah kiri atas. Lagi-lagi, masih terlihat sebuah gambar dalam gambar, padahal ini bukanlah kolase. Hal serupa menimpa telur yang baru menetas dan tunas diatas tanah. Keberadaan mereka amat terpisah dari objek yang lain. Seperti hanya menumpang lewat, atau melayang rendah begitu saja diatas kertas.
            Dimana Camila mengkomunikasikan secara nyata dampak dari modernisasi yang ia gadang sebagai judul dari lukisan? Menurut analisis saya, lukisan ini memang sudah cukup mewakili. Mobil tua yang terbengkalai, satwa-satwa yang resah, kemudian pada bagian bawah, Camila membagi tanah menjadi 3 bagian; atas, tengah, bawah. Pada bagian atas adalah tempat dimana mobil tua, televisi, dan perkakas rongsokan berada. Diantara itu terdapat gerombolan semut dan tikus yang seakan merobek panel dan mengintip tanah bagian tengah, dimana ada penggambaran gumpalan serta tekstur tanah yang digarap dengan serius. Kali ini ada beberapa serangga dan seekor kumbang yang merobek tepian panel, memaksa mata pengamat bergulir ke bagian terbawah. Ada kehampaan dibawah, dimana warna gelap digelar, membayang-bayang tiga tengkorak hewan. Camila memvisualkan periodisasi, dimana semakin lama satwa akan menuju kepunahan. Ia tidak menggambarkan masa depan dalam imajinasinya itu sebagai sesuatu yang penuh harapan, tapi hanya ada kesuraman yang datar.
                  

Gambar 2. Indonesia Punya, Indonesia Kaya
(Sumber: Katalog MAF)



            Masuk pada lukisan kedua, lagi-lagi kita disuguhkan rasa pamer Camilia akan teknik yang ia kuasai. Tidak hanya realis, kali ini ia mengusung pula gambar-gambar naturalis hasil goresan sempurna cat minyaknya diatas kanvas. Kembali ia mengusung objek satwa nasional, alam, serta kali ini bercampur dengan budaya, sesuai dengan judul “Indonesia Punya, Indonesia Kaya.” Lagi, tidak ada yang salah dengan realis dan naturalis yang ia angkat. Semua tergambar dengan indah dan nyata. Sungai berikut pepohonan, serta terumbu karang yang tegas dalam karyanya amat mewakili akan apa yang ia sebut kekayaan Indonesia. Satwa dan objek budaya wayang golek serta topeng yang ia gambarkan memiliki pemilihan warna dan pencahayaan yang sempurna.
            Bila pada karya sebelumnya ia menggunakan warna gradasi yang halus pada background, kali ini Camelia menggunakan garis-garis geometris dan repetisi bidang, yang menimbulkan kesan tegas, minimalis, juga modern. Sementara penyakit utama dari Camelia dalam karya-karya yang dipamerkan dalam MAF adalah betapa dia gemar membuat panel-panel yang membuat objek satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesatuan. Semua objek seakan berdiri sendiri, terkotak-kotak dengan egois dan tidak saling mendukung. Peta Indonesia yang terkesan terselip dibawah pigura kayu unfurnished terkesan sedikit memaksa, namun sedikit terselamatkan oleh pemilihan warnanya yang sama seperti background, sehingga tidak terlalu mencolok. Semua objek menghadap ke arah kanan, mulai menunjukkan adanya ritme yang mengurangi keegoisan objek. Namun ritme itu kembali terganggu dengan adanya penyu yang menghadap arah berlawanan, entah memberikan sedikit sensasi agar ritme tidak datar, atau memang kurangnya kepekaan komposisi pada perupanya.
            Secara teknis, Camelia tidak perlu diragukan lagi. Dia sudah memiliki goresan yang matang dan kepekaan bentuk yang luar biasa. Namun disamping unity yang masih bimbang, tema yang diangkat olehnya masih terlalu umum, tidak khusus dan spesial. Ia mengangkat tema budaya dan lingkungan, serta menggambarkannya dengan gamblang, terutama pada karya kedua. Saya merasa tidak terlalu terikat secara emosional dengan karya-karya Camelia. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya bukanlah klise “is this art?” karena segi teknis Camelia amat tinggi. Gangguan yang muncul dalam benak terdalam saya adalah, bagaimana karya yang tidak memberikan getaran di dalam jiwa saya, mampu hadir sebagai karya yang dielu-elukan sebagai yang terbaik? Sebagai penganut Bernard S. Myers yang menyatakan bahwa yang terpenting dari sebuah karya seni bukanlah masalah teknis namun emosi dan ekspresi yang dibawa, saya tidak bisa menyatakan bahwa dua karya Camelia yang saya kritik kali ini adalah yang terbaik. Tidak ada kekhasan dalam konseptual yang menceritakan siapa sang seniman yang penuh gejolak dan menumpahkannya dalam kanvas dan cat. Bagaimanapun, Camelia harus mulai menatap keluar dari kotak bila ingin karyanya lebih hidup daripada yang sekarang.    

TURUTI HATI ATAU TURUTI GAJI?
            Masa muda adalah masa yang penuh semangat dan hasrat meluap. Ada tujuan-tujuan kecil dalam hidup yang ingin dicapai dan diperjuangkan. Seringkali saat diri bersemangat, ada banyak hal yang kemudian terlupa. Logika yang lebih diutamakan, rupiah yang ingin diternakkan. Ini juga berlaku pada kegiatan seni itu sendiri, dimana hakikat awal seni sebagai ekspresi pribadi, bergeser menjadi seni sebagai komoditi. Tidak banyak lagi yang menaruh kepadatan rasa dalam karya. Logika lah yang kemudian diutamakan dalam berkesenian, diikuti dengan harapan finansial. Rahasia umum apabila setiap perupa pasti menginginkan kemapanan dari karya yang dihasilkan. Inilah yang kemudian menjebak dalam para perupa.
            Kritik di masa post-modern memasuki masa terpentingnya. Kritik menjadi hakim, sebuah karya disebut baik atau buruk, benar atau salah, dan kemudian akan berdampak krusial bagi seniman. Kolektor secara sadar turut mendengarkan penilaian dari apa yang kritikus seni kemukakan, guna mencari gengsi atau nilai tertentu dalam sebuah karya. Perputaran inilah yang membuat perupa akhirnya harus menghilangkan jati diri, mengikuti apa yang disebut baik dan buruk oleh kritikus serta pasar, dan menjadikannya karya tetap. Yang ada kemudian adalah visualisasi nalar dan dompet.




REFERENSI
Art Foundation, Masriadi. 2015. Serendipity Manner. Yogyakarta: Masriadi Art Foundation
Rowland, Susan. 2008. Psyche and the Arts. New York: Routledge
Myers, Bernard. 1958. Understanding The Art. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc

Marianto, M. Dwi. 2015. Art and Levitation. Yogyakarta: Pohon Cahaya 

Bakpau Simpel (Resep dasar bakpau sederhana)

Dirumah lagi gak ada telur, tapi ngebet pengen bikin kue. Iseng buka-buka kumpulan resep, ada kue yang memang gak butuh telur; BAKPAO. Selama ini selalu ogah sama jenis beginian, karena males nguleni. Ternyata saat malas itu kulawan, aku dapat banyak pengalaman baru dan bakpao empuk hangat yang FREE <3 o:p="">

Bahan dasar bakpao/kulit bakpao:

300 gram tepung terigu protein rendah
60 gram maizena
8 gram ragi instan
1/2 sendok teh baking powder
100 gram gula tepung
175 ml air es
30 gram mentega putih. Mentega biasa juga gpp XD
1 sendok teh garam

Isinya… terserah anda. Waktu itu saya memang nggak berniat pakai isi karena di kulkas adanya tomat sama belimbing dan itu impossible untuk jadi isi :’)

  • Campur terigu + maizena + ragi instan + bakingpowder + gula + air es. Uleni sampai kalis. Adonan dikatakan kalis saat tidak ada lagi adonan yang lengket di tangan saat diremas-remas. Saya melakukan ini setengah jam lebih dengan tangan. hehehe.
  •  Tambah mentega + garam, uleni lagi sampai kalis. Diamkan 30 menit.
  •  Ambil adonan, timbang masing2 jadi 40 gram. Bulatkan lalu diamkan 10 menit. Kempiskan, pipihkan, lalu isi sesuka hati; bisa sosis, daging, coklat, selai, dll. Bulatkan kembali, lalu diamkan 30 menit.
  • Kukus selama 13-15 menit atau sampai matang.