Pages

Wednesday, December 23, 2015

GORESAN SUNYI: Sebuah Kritik Dini yang Reckless


            Kehidupan Yogyakarta yang dinamis telah membawa banyak perputaran artistik. Atmosfir yang begitu kental dengan kesenian telah menebar motivasi berkarya yang amat sangat tinggi, apabila dibandingkan dengan kota besar lainnya. Yogyakarta benar wilayah istimewa, tempat berkumpulnya seniman berikut pasarnya yang besar. Magnet pasar yang menjanjikan ini turut pula menarik bibit-bibit perupa muda belia yang hendak mengikuti jejak pendahulunya.
            Pembagian kategori "muda” dalam berbagai aspek memiliki tolok ukur yang berbeda.  Jika dalam sensus penduduk usia muda adalah usia produktif kerja dengan rentang 15-64 tahun, maka berbeda dengan standard Masriadi Art Foundation, atau yang lebih dikenal dengan MAF. Organisasi non-profit yang mendukung penuh apresiasi untuk seniman muda ini mendeklarasi bahwa angkatan muda –dalam hal ini perupa— adalah mereka yang berusia dibawah 35 tahun.
            Masriadi Art Foundation berada dibawah asuhan I Nyoman Masriadi, seniman sejuta dollar yang sederhana dan rendah hati. Galeri yang ramah ini khusus diperuntukkan bagi perupa muda untuk maju dan mendapat tempat diantara pasar yang riuh. Masriadi sadar bahwa para perupa muda ini membutuhkan tempat untuk karya serta asistensi berkala untuk pengembangan dan kontinuitas berkarya.
            Guna menjalankan fungsi sebagai pencari talenta muda, salah satu agenda MAF adalah mengadakan pameran kuratorial setiap beberapa bulan sekali. Pada bulan Oktober 2015 ini, MAF telah mengadakan pameran untuk yang ketiga kalinya. Dengan tema “Serendipity Manner,” pameran dengan kurator I Gede Arya Sucrita ini menarik minat saya untuk diangkat dalam tulisan kali ini.



MUDA, BERKARYA, JUARA
            Serendipity Manner diikuti oleh 8 perupa muda Indonesia, yang rata-rata berdomisili di Yogyakarta. Tidak heran, di kota kecil ini aliansi seni sekecil apapun sangat mudah diakses. Lingkungan berkesenian yang kental menjadikan perupa belia bermunculan, termotivasi baik oleh panggilan hati maupun rayuan rupiah. Seni adalah hal yang tidak akan ada batasnya di Yogyakarta, selama 24 jam per 7 hari.
            Muda dan gegabah adalah sebutan khas. Emosi belum matang serta ingin menjadi pusat perhatian, para perupa dibawah 35 tahun ini memiliki semangat yang tinggi. Seingkali disetir oleh keinginan yang menggebu, seniman muda mampu muncul dan menguasai kompetisi yang ada. Sedikit demi sedikit ide dan inovasi yang mereka berikan dilirik oleh pasar, membuat seniman senior menjadi awas. Hasil dari semangat ini dapat kita saksikan dari betapa tinggi teknik yang dipamerkan oleh perupa muda, namun seringkali tidak diimbangi oleh konsep yang matang.
            Mengapa bisa teknis yang superior bisa tidak seimbang dengan konsep yang diusung? Indikasi yang paling mudah adalah umur. Kematangan teknik dapat diasah, namun kematangan pemikiran membutuhkan waktu yang tidak setara. Muda mudi cenderung belum memiliki banyak pengalaman, baik estetis maupun konvensional, yang dapat membangkitkan kecerdasan emosional. Seni hakikatnya adalah ekspresi dari pikiran dan rasa. Emosi berperan penting dalam pembuatan sebuah karya, mengesampingkan logika dan hitungan matematika. Michael Tucker menyatakan bahwa jiwa dan imajinasi adalah faktor kunci dalam mengungkap seni. Bila dalam kepala masih ada kebingungan dan kekosongan akan sebuah taksu dalam berkesenian, apakah hasil visual itu layak disebut sebagai seni? Lalu apa yang terjadi dalam proses berkarya para seniman muda selama ini? Gegabah dan ledakan selalu muncul dalam visualisasi imajinasi liar mereka. Lepas dari tata dan teknis sudah menjadi khas. Dunia kontemporer adalah dunia penuh ledakan jiwa dan tanda tanya, “apakah ini seni?”



GADIS KECIL DALI
            Salah satu gadis muda beruntung yang ikut lolos dalam kurasi MAF dalam Serendipity Manner adalah Camelia Mitasari Hasibuan. Melejit dengan berbagai penghargaan dan pameran, gadis belia ini termasuk salah satu seniman muda yang menjanjikan. Ia mendisplay 3 karya orisinil dengan ukuran besar di pameran MAF, dengan judul “Dampak Modernisasi,” “Adaptasi,” dan “Indonesia Punya, Indonesia Kaya,” yang merupakan karya pemenang ajang bergengsi UOB 2013.
            Profil profesionalnya dimulai dari bangku menengah atas SMSR Yogyakarta, meski sebelum itu dia sudah memulai melatih kepekaan visual dengan berbagai latihan. Lahir dari keluarga seniman, tidak sulit bagi Camellia untuk mendapatkan banyak pelajaran kesenian lebih awal dan lebih intens dibandingkan dengan perupa dari keluarga non-seni. Inilah yang kemudian membuat karya-karyanya matang secara teknis; realisme yang luar biasa, efek yang kuat, serta still-life yang mengagumkan. Namun apa yang ganjil dari gadis yang baru menginjak 22 tahun di 2015 ini?
            Disini saya mengambil dua dari tiga karya Camelia, yakni “Dampak Modernisasi” dan “Indonesia Punya, Indonesia Kaya,” karena saya memiliki banyak pertanyaan pada karya tersebut dibandingkan dengan yang lain. Kedua karya ini adalah karya surealis, begitu yang saya pikirkan saat pertama kali menaruh pandang. Adanya perpaduan objek-objek yang tidak pada tempatnya sesuai realita, kemudian ada distorsi bentuk pada beberapa bagian objek, serta warna yang digunakan. Camelia menggunakan warna-warni kontras dan gradasi yang khas, dimana mengingatkan saya akan sebuah nama fenomenal, Salvador Dali. Bapak surealis yang memberikan visual khas pada karyanya ini kerap memberikan warna-warna hangat dan kontras sebagai background, dengan gradasi yang lembut. Begitupula yang dilakukan oleh Camelia pada kedua karya ini, dimana gradasi warna gelap menuju terang nampak pada background serta bidang-bidang luas lukisan. Bisa jadi sebagai pelaku surealis yang kerap mencari inspirasi, Salvador Dali sudah masuk dalam daftar buronannya.



Gambar 1. Dampak Modernisasi
(Sumber: Katalog MAF)

Lukisan pertama, Dampak Modernisasi, memiliki dimensi 120 x 180 sentimeter. Teknik Camelia saat mengeksekusi cat minyak begitu handal, begitu halus dan menghasilkan objek dengan realis yang tinggi. Disini ia
menggambarkan sebuah mobil biru pudar yang berkarat serta rusak; banyak bagian dari mobil yang sudah usang dan lepas, tergeletak di sekeliling badan mobil. Disini saya mengagumi lagi kejelian Camelia dalam membuat detail pernak-pernik yang dahsyat. Meski hanya sekedar rongsokan kecil-kecil, namun salah satu kekuatan lukisan ini ada pada penggambaram tumpang tindihnya. Detail artistik juga nampak pada televisi rusak disebelah mobil, gumpalan tanah di bawah mobil, serta penggambaran satwa-satwa yang ada di dalam lukisan.
            Daya tariknya jelas, pada teknik yang luar biasa dan surealis yang nyata. Warna hangat dari lukisan ini seakan menggambarkan kesenduan, meski dikemas dengan gradasi gelap menuju terang khas Camelia yang lembut. Namun ketika ia menggambarkan figur hewan-hewan pada dinding belakang mobil, lukisan ini terasa turun nilainya. Tidak ada kesatuan antara figur-figur satwa langka tersebut dengan objek disekitarnya. Terlihat resah, figur-figur tersebut hanya nampak seperti tempelan. Begitu pula dengan gambar suasana perkotaan yang ia taruh begitu saja di bagian kanan lukisan. Ia bahkan dengan jelas menggambarkan pemandangan tersebut seperti poster, dengan aksen gulungan kertas di sebelah kiri atas. Lagi-lagi, masih terlihat sebuah gambar dalam gambar, padahal ini bukanlah kolase. Hal serupa menimpa telur yang baru menetas dan tunas diatas tanah. Keberadaan mereka amat terpisah dari objek yang lain. Seperti hanya menumpang lewat, atau melayang rendah begitu saja diatas kertas.
            Dimana Camila mengkomunikasikan secara nyata dampak dari modernisasi yang ia gadang sebagai judul dari lukisan? Menurut analisis saya, lukisan ini memang sudah cukup mewakili. Mobil tua yang terbengkalai, satwa-satwa yang resah, kemudian pada bagian bawah, Camila membagi tanah menjadi 3 bagian; atas, tengah, bawah. Pada bagian atas adalah tempat dimana mobil tua, televisi, dan perkakas rongsokan berada. Diantara itu terdapat gerombolan semut dan tikus yang seakan merobek panel dan mengintip tanah bagian tengah, dimana ada penggambaran gumpalan serta tekstur tanah yang digarap dengan serius. Kali ini ada beberapa serangga dan seekor kumbang yang merobek tepian panel, memaksa mata pengamat bergulir ke bagian terbawah. Ada kehampaan dibawah, dimana warna gelap digelar, membayang-bayang tiga tengkorak hewan. Camila memvisualkan periodisasi, dimana semakin lama satwa akan menuju kepunahan. Ia tidak menggambarkan masa depan dalam imajinasinya itu sebagai sesuatu yang penuh harapan, tapi hanya ada kesuraman yang datar.
                  

Gambar 2. Indonesia Punya, Indonesia Kaya
(Sumber: Katalog MAF)



            Masuk pada lukisan kedua, lagi-lagi kita disuguhkan rasa pamer Camilia akan teknik yang ia kuasai. Tidak hanya realis, kali ini ia mengusung pula gambar-gambar naturalis hasil goresan sempurna cat minyaknya diatas kanvas. Kembali ia mengusung objek satwa nasional, alam, serta kali ini bercampur dengan budaya, sesuai dengan judul “Indonesia Punya, Indonesia Kaya.” Lagi, tidak ada yang salah dengan realis dan naturalis yang ia angkat. Semua tergambar dengan indah dan nyata. Sungai berikut pepohonan, serta terumbu karang yang tegas dalam karyanya amat mewakili akan apa yang ia sebut kekayaan Indonesia. Satwa dan objek budaya wayang golek serta topeng yang ia gambarkan memiliki pemilihan warna dan pencahayaan yang sempurna.
            Bila pada karya sebelumnya ia menggunakan warna gradasi yang halus pada background, kali ini Camelia menggunakan garis-garis geometris dan repetisi bidang, yang menimbulkan kesan tegas, minimalis, juga modern. Sementara penyakit utama dari Camelia dalam karya-karya yang dipamerkan dalam MAF adalah betapa dia gemar membuat panel-panel yang membuat objek satu dengan yang lainnya tidak memiliki kesatuan. Semua objek seakan berdiri sendiri, terkotak-kotak dengan egois dan tidak saling mendukung. Peta Indonesia yang terkesan terselip dibawah pigura kayu unfurnished terkesan sedikit memaksa, namun sedikit terselamatkan oleh pemilihan warnanya yang sama seperti background, sehingga tidak terlalu mencolok. Semua objek menghadap ke arah kanan, mulai menunjukkan adanya ritme yang mengurangi keegoisan objek. Namun ritme itu kembali terganggu dengan adanya penyu yang menghadap arah berlawanan, entah memberikan sedikit sensasi agar ritme tidak datar, atau memang kurangnya kepekaan komposisi pada perupanya.
            Secara teknis, Camelia tidak perlu diragukan lagi. Dia sudah memiliki goresan yang matang dan kepekaan bentuk yang luar biasa. Namun disamping unity yang masih bimbang, tema yang diangkat olehnya masih terlalu umum, tidak khusus dan spesial. Ia mengangkat tema budaya dan lingkungan, serta menggambarkannya dengan gamblang, terutama pada karya kedua. Saya merasa tidak terlalu terikat secara emosional dengan karya-karya Camelia. Pertanyaan yang muncul dalam benak saya bukanlah klise “is this art?” karena segi teknis Camelia amat tinggi. Gangguan yang muncul dalam benak terdalam saya adalah, bagaimana karya yang tidak memberikan getaran di dalam jiwa saya, mampu hadir sebagai karya yang dielu-elukan sebagai yang terbaik? Sebagai penganut Bernard S. Myers yang menyatakan bahwa yang terpenting dari sebuah karya seni bukanlah masalah teknis namun emosi dan ekspresi yang dibawa, saya tidak bisa menyatakan bahwa dua karya Camelia yang saya kritik kali ini adalah yang terbaik. Tidak ada kekhasan dalam konseptual yang menceritakan siapa sang seniman yang penuh gejolak dan menumpahkannya dalam kanvas dan cat. Bagaimanapun, Camelia harus mulai menatap keluar dari kotak bila ingin karyanya lebih hidup daripada yang sekarang.    

TURUTI HATI ATAU TURUTI GAJI?
            Masa muda adalah masa yang penuh semangat dan hasrat meluap. Ada tujuan-tujuan kecil dalam hidup yang ingin dicapai dan diperjuangkan. Seringkali saat diri bersemangat, ada banyak hal yang kemudian terlupa. Logika yang lebih diutamakan, rupiah yang ingin diternakkan. Ini juga berlaku pada kegiatan seni itu sendiri, dimana hakikat awal seni sebagai ekspresi pribadi, bergeser menjadi seni sebagai komoditi. Tidak banyak lagi yang menaruh kepadatan rasa dalam karya. Logika lah yang kemudian diutamakan dalam berkesenian, diikuti dengan harapan finansial. Rahasia umum apabila setiap perupa pasti menginginkan kemapanan dari karya yang dihasilkan. Inilah yang kemudian menjebak dalam para perupa.
            Kritik di masa post-modern memasuki masa terpentingnya. Kritik menjadi hakim, sebuah karya disebut baik atau buruk, benar atau salah, dan kemudian akan berdampak krusial bagi seniman. Kolektor secara sadar turut mendengarkan penilaian dari apa yang kritikus seni kemukakan, guna mencari gengsi atau nilai tertentu dalam sebuah karya. Perputaran inilah yang membuat perupa akhirnya harus menghilangkan jati diri, mengikuti apa yang disebut baik dan buruk oleh kritikus serta pasar, dan menjadikannya karya tetap. Yang ada kemudian adalah visualisasi nalar dan dompet.




REFERENSI
Art Foundation, Masriadi. 2015. Serendipity Manner. Yogyakarta: Masriadi Art Foundation
Rowland, Susan. 2008. Psyche and the Arts. New York: Routledge
Myers, Bernard. 1958. Understanding The Art. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc

Marianto, M. Dwi. 2015. Art and Levitation. Yogyakarta: Pohon Cahaya 

No comments:

Post a Comment