Pages

Thursday, December 31, 2015

Isolasionisme dan Konstektualisme dalam Seni


Isolasionisme dan kontekstualisme dalam seni rupa sesungguhnya adalah sebuah metode atau cara untuk mengapresiasi karya seni. Mendekati kritik seni, isolasionisme dan konstekstualisme memiliki istilah lain dalam dunia kesenirupaan. Keduanya memiliki metode yang bertolak belakang, dan masih digunakan untuk memahami seni hingga saat ini, terutama dalam studi kesenirupaan.

Menurut John Hospers dalam Understanding the Art, isolasionisme adalah cara mengapreasiasi sebuah karya dengan mengamati mendalam dan berulang-ulang. Saat kita menghadapi sebuah karya, kita tidak butuh teori dari buku untuk menelaahnya. Selain itu juga tidak diperlukannya telaah sejarah maupun budaya, hanya membutuhkan diri untuk melihat, mendengarkan, maupun membacanya berulang-ulang hingga ada titik terang yang dapat diambil dari karya tersebut. Hal ini juga dapat dinyatakan sebagai apresiasi tunggal, karena kita melihat karya tersebut apa adanya, berdiri sendiri sebagai karya tersebut. Pengetahuan akan latar belakang, motif, maupun seniman, hanya akan merubah interpretasi murni dari karya yang ada. Meski dianggap sebagai sebuah apresiasi murni, namun cara ini tidak cocok untuk karya yang membingungkan ataupun butuh interpretasi dalam untuk menikmatinya. Seorang kritikus seni masih dapat menggunakan isolasionisme, namun kurator tidak diperbolehkan menggunakan.

Sementara kontekstualisme, adalah cara apresiasi karya yang harus sesuai konteksnya. Disini penikmat seni tidak serta merta mengamati saja secara fisik dan menafsirkan secara pribadi, namun harus mengetahui seluk beluk karya secara penuh. Diantaranya media berkarya, tujuan berkarya, warisan budaya maupun tradisi yang ada saat lukisan dibuat, kehidupan seniman, serta era seniman hidup. Pengamatan yang mendalam tersebut akan memberikan apresiasi yang mendalam dan lebih baik bagi karya tersebut (Hospers, 1982:82). Cara ini cukup sering dipergunakan di era seni kontemporer, terutama pada praktik kuratorial. Namun yang seringkali terjadi adalah adanya subjektifitas pada penilaian seni. Meski karya tersebut biasa saja, namun nama seniman amat berpengaruh pada pemberian nilai akhir karya, terutama pada harga. Tidak hanya nama, konsep yang diusung dalam sebuah karya juga berperan besar menjadikan karya tersebut bernilai atau tidak. Penilaian sebuah karya di mata kritikus dan kurator memang berbeda, namun sisi kontekstual yang kuat akan mengangkat karya. Sejarah maupun nilai yang melekat akan memberikan kesan mendalam daripada sekedar perwujudan fisik tanpa nilai dan misteri yang menggungah pengamat.

Itulah mengapa, disebutkan bahwa karya yang hidup adalah karya yang memiliki nilai kehidupan. Perbedaan sebuah coretan sekilas dengan karya seni adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Karya seni yang berhasil adalah karya yang berhasil membawa emosi. Seniman yang mengerjakan karya tersebut tentu tidak akan sembarang membentuk atau menulis. Ada kesan dan pesan serta cerita tertentu yang dibawanya, terkadang nilai budaya dan warisan peradaban yang membawa emosi pengamat kaya seni. Contoh saat melihat lukisan kehidupan pasar di Bali, ada nilai-nilai kehidupan yang diusung disana, membawa kita mengimajinasikan kehidupan Bali, ataupun teringat saat-saat kita berwisata ke Bali. Secara tidak langsung lukisan itu membawa kita pada pengetahuan indera dan rasa terdalam akan Bali. Terlebih bila melihat kerumunan orang atau pedagang yang menunggu, ada gugahan-gugahan kecil dan imajinasi yang berjalan. Itu pertanda bahwa lukisan tersebut sudah berhasil memberikan nilai-nilai kehidupan pada penikmatnya. 


PRAKTIK TEORI

Untuk memahami lebih lanjut mengenai isolasionisme dan kontekstualisme yang mengangkat nilai kehidupan, berikut contoh penerapannya pada karya:

KARYA I


Secara isolasionisme dasar: Lukisan cat minyak diatas kanvas ini menggambarkan seekor kuda biru yang kurus dan terlihat sedih, dengan background berwarna kelabu. Dari tubuh kuda, muncul lelehan-lelehan merah seperti darah. Saya merasa sedikit takut dan sedih saat melihat lukisan ini, apalgi karena saya pecinta hewan.

Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini milik Ugo Untoro, seorang seniman besar kontemporer Indonesia. Berjudul Poem of Blood #3, lukisan ini dibuat tahun 2006 dengan media cat minyak diatas kanvas. Ugo menggambarkan kesedihannya akan kematian kuda peliharaan yang paling ia sayangi. Tidak heran ia mengambil warna biru, yang secara psikologi bermakna kesedihan, kemudian membuat postur tubuhnya meringkuk seperti sedang dalam duka. Lelehan-lelehan cat merah yang artistik seakan menceritakan darah dan mensimbolkan kematian.

KARYA II

Secara isolasionisme dasar: Lukisan penggambaran seorang wanita kurus yang tampak lelah sedang duduk di kursi antik. Wajahnya tidak menampakkan senang maupun sedih, hanya datar dan menatap kedepan. Pakaiannya kebaya dengan jarit tradisional, mungkin gambar wanita pada zaman kuno, bukan masa modern. Dibelakang wanita tersebut terdapat tirai dengan renda-renda floral, menambah kesan bahwa ini termasuk lukisan berumur tua. Warnanya lukisannya kusam namun hangat.

Secara kontekstualisme dasar: Merupakan karya masterpiece dari S. Sudjojono, bapak senirupa modern Indonesia. Terkenal sebagai penggerak senirupa dan penulis tegas, Sudjojono juga pelukis yang handal, bahkan tidak menyangka bahwa beliau memiliki sisi gelap kehidupan yang dikuak pada lukisan ini. Lukisan berjudul “Di Balik Kelambu terbuka” menggambarkan Adhesti, seorang PSK simpanan Sudjojono. Dimasa mudanya, beliau suka bermain wanita, akibat sakit hati karena lamarannya ditolak oleh seorang gadis Betawi. Meskipun menggambarkan kesederhaan seorang perempuan yang beristirahat dalam kursi, namun cerita yang kontroversial ini berhasil mengangkat nilai lukisan Sudjojono hingga menjadi salah satu koleksi bersejarah.

KARYA III

Secara isolasionisme dasar: Menggambarkan sekumpulan orang sedang makan malam ditengah kesederhanaan. Mereka hanya memiliki kentang dan kopi (atau teh) dan menunjukkan guratan prihatin pada wajahnya. Pencahaan temaram dari lampu menambah suasana suram di ruangan tersebut. Pemilihan warnanya juga kusam, sehingga atmosfir kesedihannya ikut terbawa pada pengamat.

Secara kontekstualisme dasar: Lukisan ini merupakan karya maestro dunia, Van Gogh. Beliau menggambarkan situasi dimasanya, dimana kemiskinan melanda pada tahun 1885. Mereka adalah penggambaran petani pada masa itu; bertampang buruk dan kasar, serta hanya makan kentang. Suasana yang realis ini sengaja diangkat oleh Van Gogh untuk menunjukkan kehidupan petani yang jujur; mereka makan apa yang mereka tanam dengan tangan sendiri.      


KARYA IV



Secara isolasionisme dasar: Serial karya ini menggunakan kulit kuda asli, dan mendeformasinya dengan cara yang unik. Satu karya digantung begitu saja dan karya lain menampakkan pinggul dan kaki kuda yang terjerembab di pasir. Karya ini memberikan penontonnya rasa horor yang merinding, selain memang tujuannya untuk memberikan kesan surreal yang kuat. Kuda-kuda yang dideformasi dan diperlakukan dengan tidak biasa ini bisa simbolisasi senimannya tidak menyukai kuda, atau memberikan kritik baik sosial maupun budaya. 


Secara kontekstualisme dasar: Sama seperti lukian Poem of Blood, karya ini didedikasikan Ugo Untoro untuk mengenang kematian kuda kesayangannya. Dibuat dengan kulit kuda asli, Ugo memvisualisasikan kesedihan dan kematian. Seniman kontemporer ini memberikan nafas baru bagi kesenian Indonesia dari munculnya serial karya fenomenal ini.


KESIMPULAN

Baik kontekstualisme maupun isolasionisme adalah metode apreasiasi karya yang bertolak belakang. Satu memilih menikmati karya dari kacamata pribadinya sendiri, satu lagi menikmati karya sembari menelaah untuk mengetahui makna lebih dalam karya tersebut baik dari literatur, analisis, dan dari senimannya sendiri. Isolasionisme seni rupa lebih sederhana dan tidak diperuntukkan untuk kuratorial, namun untuk kritikus masih dapat diterapkan. Tidak ada cara yang lebih baik maupun lebih bagus. Keduanya memiliki kondisinya masing-masing untuk dipergunakan.

Sementara nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang dibawa oleh sebuah karya. Entah memiliki latar budaya, sosial, norma, maupun ekspresi pribadi seorang seniman. Nilai kehidupan yang diangkat membuat sebuah karya menjadi hidup dan berkesan dimata penikmatnya. Inilah yang kemudian menghasilkan taksu, sebuah kondisi dimana seniman maupun penikmat karya seni menjadi satu dengan karya yang ada.  
===================================================


Thanks to: Seruni Bodjawati, S.Sn. dan Sigit Tamtomo S.Sn. yang ikut membantu menghasilkan materi ini

No comments:

Post a Comment