Pages

Wednesday, October 5, 2016

Hangat Bajigur di Rintik Riuh Jogja


Bicara soal kepindahan sementara saya ke Jogja untuk studi, saya sempat tertawa saat mereka punya kata2 kotor "bajigur" karena itu adalah sebutan makanan. Lebih tepatnya minuman khas Jawa Tengah. Bajigur, atau cimoy, merupakan minuman tradisional hangat berwarna kecoklatan dengan potongan kolang-kaling, kelapa muda, dan roti tawar. Manisnya gula jawa merebak di lidah, menjadikan bajigur sebagai teman disaat hujan yang paling berada.


Jujur saya belum tahu bagaimana rasa dan bentuk sesungguhnya dari bajigur. Serta apa dosanya, hingga dijadikan bahan umpatan. Meski banyak yang bilang bajigur gampang ditemui, nyatanya tidak ada warung yang menyediakannya. Beruntung saya tukang ngluyur malam, saya jadi menemukan bahwa di dekat kampus saya ada angkringan  (gerobak makanan lengkap dengan kursi panjang dan menu2 sederhana) yang menjual bajigur disaat malam. Jadwal angkringan ini sangat random. Saya kerap menemukannya tidak berjualan, namun saat sudah standby, angkringan ini cukup banyak peminatnya.


Tidak ada menu minuman selain bajigur, angkringan ini tidak mengecewakan. Makanan yang dijual variatif. Sate ayam, sate usus, sate telor, bacem tahu tempe, aneka gorengan, dan beberapa jenis kerupuk. Nasi kucing (nasi bungkus dengan porsi sedikit dan sejumput topping) yang dijual meliputi nasi tempe, nasi sambal teri, dan nasi usus. Kadang juga ia menjual mie kucing. Begitu saya menyebutnya karena porsinya yang kecil dan dibungkus sama seperti nasi kucing. Sangat sederhana, namun ada yang istimewa.

Yoyakarta jarang mengolah usus. Mungkin itu yang saya dan
rekan, yang berasal dari Jawa Timur, mengeluh. Banyak-banyak usus hanya kami temukan dalam bentuk sate, dan berada di angkringan-angkringan. Namun di angkringan dekat kampus saya ini, nasi kucing ususnya istimewa. Tidak kering seperti angkringan yang lain, ususnya dibumbu agak basah, dengan rasa yang amat mirip seperti kare. Bukan seperti kare-kare Jogja yang mild, karenya lebih ke rempah yang kuat dan sedikit pedas. Tidak seperti Jogja yang terkenal masakannya manis dan mild, banyak orang memburu nasi usus disana. Bahkan partner saya bisa makan 3 atau 4 bungkus sekali datang!

Saya bukan tipe yang suka datang ke angkringan, karena kerap dijadikan tempat nongkrong laki-laki berkerumun. Well yes, saya takut dengan lelaki. Bahkan saya pernah digoda juga di angkringan, membuat saya akhirnya tidak nafsu makan. Tapi suatu sore, saya melihat seorang gadis remaja dan seorang bapak tua mendorong gerobak angkringan ditengah gerimis. Saya ingat keduanya merupakan pemilik angkringan bajigur dekat kampus yang pernah saya datangi karena penasaran dengan bajigur. Kedua orang ini menunggui angkringan hingga larut malam. Saya sempat khawatir dengan kondisi bapak tua yang sudah gemetar saat menyodorkan gelas, dan bagaimana si remaja bisa belajar dan konsentrasi sekolah jika harus seperti ini. Mungkin inilah yang mendorong kuat saya untuk terus membeli disana. Mendorong UKM, begitu yang saya kerap kali bilang ke teman-teman. Well, tapi ndak menyesal karena disana memang enak dan tidak mengecewakan. Namun sudah beberapa bulan ini kedua orang itu tidak lagi tampak. Berganti dengan bapak-bapak yang suka mengenakan topi. Ingin bertanya namun tidak enak, mungkin menunggu kesempatan.

Angkringan ini aktif sehabis maghrib-isya, dan setahu saya pukul 11 malam dia masih aktif. Dia berada di sebuah tenda kembar, bersebelahan dengan warung rica-rica (yang jadwalnya juga random hahaha). Berada kurang lebih 200 meter ke selatan dari Plengkung Gading, angkringan ini ditutupi dengan baliho BAJIGUR = CIMOY berwarna hijau. Dia tepat berada di seberang kantor UV INDO.

Sempatkan diri anda mampir dan menikmati syahdunya suasana Jogja dari kesederhanaan.
Lokasi angkringan dengan tanda X

2 comments:

  1. Koyoran sapi... itu juga ada di Jogja tapi ga ada di Malang. Tampilannya aja aneh, Luk. :-|

    ReplyDelete
    Replies
    1. Koyoran Sapi iki jeneng cafe opo literally koyoran zapi? XDD

      Delete